Hari ini sehabis mandi pagi sekitar jam 11 siang (jam 11 itu pagi apa siang sih?), seperti biasa sejak dua minggu terakhir ini, saya kembali mencari baju kaos di tumpukan baju di lemari pakaian. Di sebelah lain baju kemeja lengan panjang, kemeja kasual dan kemeja batik berjejer rapi, tak lagi tersentuh.
Memang kalau saya lagi bekerja di kantor, pada hari tertentu harus memakai kemeja lengan panjang plus dasi. Ada pula hari tertentu yang memakai kemeja batik. Sedangkan pada hari lain lagi cukup memakai kemeja kasual dengan celana jean.
Kebiasaan mandi siang yang tentu saja tidak baik untuk diitiru orang lain itu, menjadi budaya baru saya sejak dibolehkan bekerja dari rumah (work from home atau disingkat WFH).
Untung saja saya tidak seperti beberapa teman di perusahaan lain yang cara bekerjanya sering berkomunkasi melalui video conference. Hal ini membuatnya selalu berpakaian rapi seperti lagi sedang di kantor.
Di awal saya ikut WFH, pernah dilakukan video conference. Hanya karena materi yang dibahas yang telah dibagikan kepada saya beberapa hari sebelumnya tertinggal di kantor, maka saya dan beberapa teman lain mengikutinya dari ruang rapat di kantor.
Tapi sebagian peserta rapat, khususnya komisaris utama dan anggota dewan komisaris, berada di rumah masing-masing dengan berpakaian formal. Rapat agak terlambat dimulai oleh komisaris utama, karena seorang ibu wajahnya tidak nongol di layar.
Ternyata si ibu tersebut malu melihat yang lain di layar terlihat berpakaian formal, sehingga ia minta waktu sebentar untuk berganti pakaian dan memasang hijab.
Kembali ke soal mandi, apakah nanti sore saya akan mandi lagi, karena memang biasanya saya mandi dua kali sehari? Â Nah, ini dia yang saya agak pesimis. Â Sekiranya sehari ini saya tidak banyak mengeluarkan keringat, bisa jadi saya akan memutuskan untuk tidak mandi lagi.
Ya, frekuensi mandi saya agak berkurang menjadi dampak negatif WFH bagi saya. Namun bukan hanya ini dampak jeleknya pada budaya keseharian saya.
Meskipun wajah dan tongkrongan saya pas-pasan saja, keinginan saya untuk tampil lebih baik, praktis hilang. Parfum tergeletak tanpa saya sentuh. Bila berdiam di rumah saja, benda yang disemprotkan dan menurut ukuran kantong saya relatif mahal itu, memang saya anggurin saja.
Minyak rambut pun begitu. Padahal ini minyak rambut khusus yang konon berkhasiat memperlambat datangnya uban. Sebetulnya sejak saat kuliah puluhan tahun lalu, rambut saya sudah ada ubannya sekadar beberapa helai.