Hari Selasa kemarin (24/3/2020), giliran saya masuk bekerja di kantor, di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di Jalan Sudirman Jakarta Pusat. Sebelumnya saya sudah beberapa hari di rumah saja.
Sebagai contoh pada minggu lalu, saya hanya masuk kantor pada hari Selasa dan Kamis. Tapi ada perbedaan yang signifikan berkaitan dengan kondisi di jalan raya antara minggu lalu dan minggu ini.
Minggu lalu, mungkin karena pemberlakuan social distancing masih pada tahap awal, dan jumlah korban yang terpapar Covid-19 belum begitu banyak, jalan raya masih ramai dilewati kendaraan yang lalu lalang.
Sekarang yang saya alami betul-betul berbeda. Kondisi di jalan seperti pada hari-hari sekitar lebaran saja. Jalanan lengang, sehingga taksi yang saya tumpangi dari rumah di kawasan Tebet Jakarta Selatan ke Jalan Sudirman, hanya butuh waktu 15 menit. Di hari biasa membutuhkan sekitar 45 menit.
Di gerbang masuk gedung kantor, saat diukur oleh seorang petugas, suhu tubuh saya 36,7 derajat. Artinya saya boleh masuk. Tidak ada antrean masuk gedung seperti minggu lalu yang diatur oleh satpam agar yang mengantre berjarak 1 meter dengan orang yang di depan dan di belakangnya. Dugaan saya yang bekerja dari rumah lebih banyak ketimbang yang masuk kantor.
Demikian juga saat masuk lift, hanya saya dan seorang karyawan lain yang berada di dalam, sehingga gampang mengatur jarak. Saya juga tidak khawatir karena teman sesama satu lift itu memakai masker seperti saya.
Saya keluar lift di lantai 31, langsung mencuci tangan yang telah disediakan di sebuah meja kecil di dekat pintu lift. Sebetulnya di saku celana saya juga ada sebotol kecil cairan pembersih tangan.
Benar juga dugaan saya, lebih banyak yang bekerja dari rumah. Hanya segelintir teman yang saya lihat, masing-masing sibuk sendiri saja di depan komputer atau laptop. Tak ada yang menyambangi teman lain untuk ngobrol berbasa basi seperti biasa.
Karena tidak ada lagi pekerjaan, jam 13.30 saya pun meninggalkan ruang kerja. Mumpung lagi di kantor, sebelum pulang ke rumah saya singgah di sebuah kantor cabang bank yang berada di lantai dasar di gedung yang sama.
Di sinilah saya agak kaget karena oleh petugas yang menyambut saya diambilkan struk nomor antrean dan tertera angka 117. Padahal di layar monitor yang lagi dilayani baru antrean nomor 76. Artinya saya perlu menunggu 41 orang nasabah lagi sebelum dipanggil ke hadapan teller. Sebelum masuk ruang tunggu, saya diminta petugas untuk mencuci tangan yang telah disediakan.
Saya melihat ada 6 orang teller dan 3 orang customer service yang lagi sibuk melayani nasabah. Semuanya pakai masker dan juga sarung tangan. Dalam hati saya memperkirakan tidak sampai satu jam lagi saya akan dilayani. Jadi saya tidak bermaksud untuk membatalkan transaksi.