Sudah beberapa hari ini saya dan istri mematuhi imbauan pemerintah untuk berdiam diri di rumah saja. Selama di rumah, menonton berita dari siaran televisi menjadi hal yang rutin saya ikuti, terutama menyangkut perkembangan penyebaran virus corona atau Covid-19.
Tapi yang betul-betul saya tunggu setiap sore, biasanya sekitar jam 15.30 hingga 16.00, adalah paparan dari Juru Bicara Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, yang disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi.
Awalnya saya lebih terfokus menunggu perkembangan jumlah korban yang terpapar virus yang menghantui kita itu, jumlah  korban yang sudah sehat setelah dirawat dan jumlah korban yang meninggal dunia.
Achmad Yurianto menempatkan data penambahan jumlah korban pada bagian terakhir dari paparannya. Ini cara yang cerdik, karena beliau pasti sudah menduga, data itulah yang diburu para jurnalis.
Maka jurnalis dan pemirsa di rumah pun terpaksa menyimak dulu berbagai penjelasan dari sang juru bicara. Ternyata Achmad Yurianto mampu menjelaskan berbagai hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat sebagai salah satu sarana edukasi atau sosialisasi tentang apa yang harus dilakukan masyarakat.
Pada hari-hari berikutnya, ketika kenaikan jumlah korban semakin menggunung, bagi saya sendiri yang paling saya tunggu dari paparan sang juru bicara adalah bagian awal yang bersifat edukatif itu tadi.
Cara Achmad menelaskan sangat sistematis, walaupun tidak terlihat membaca teks. Artinya beliau memang menguasai materi dan mampu menguraikannya dengan baik.
Hanya saja dalam hati saya mempertanyakan, apakah kalau masyarakat mengikuti anjuran dari sang juru bicara, telah sinkron dengan kenyataan di lapangan?
Contohnya, seperti paparan Achmad pada Senin sore (23/3/2020), berkali-kali ia menekankan agar warga yang menderita batuk pilek dan curiga bila terpapar virus, segera memeriksa diri ke rumah sakit terdekat.
Di lain pihak terbetik berita di media massa tentang betapa tidak gampangnya warga yang ingin diperiksa untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah.
Memang, tanpa bermaksud mengadu atau membenturkan, cara Achmad dalam memberikan penjelasan jauh lebih baik ketimbang yang sebelumnya dilakukan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Seperti diketahui, pernyataan Terawan yang mengatakan bahwa orang sehat tidak perlu memakai masker, telah memantik perdebatan. Toh akhirnya mayoritas warga bila keluar rumah, baik yang sehat atau yang lagi batuk pilek, memakai masker.
Jadi, meskipun sekarang penjelasan pemerintah tentang Covid-19 telah terpusat di tangan juru bicara, masalahnya itu tadi, bagaimana menciptakan sinkronisasi dengan semua elemen yang terlibat dalam penanganan Covid-19 di lapangan, agar terbentuk kepercayaan dari masyarakat bahwa pemerintah telah bekerja serius.
Bila disebutkan bahwa persediaan obat-obatan, alat pelindung diri bagi petugas kesehatan, dan alat pendeteksi virus telah mencukupi, padahal kenyataannya tidak seperti itu, maka akan sia-sia penjelasan sang juru bicara, meskipun telah dipaparkan secara sistematis.
Tapi paling tidak edukasi bagi masyarakat untuk sering mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain, dan beberapa hal praktis lain, sangat pantas untuk dipatuhi semua warga. Hal ini berulang-ulang disampaikan oleh Achmad Yurianto.
O ya, tentang siapa Acmad Yurianto, seperti dilansir dari tribunnews.com (21/3/2020), ternyata seorang dokter yang lama berkarir di instansi militer. Dokter alumni Universitas Airlangga tahun 1990 ini memulai karirnya sebagai Perwira Utama Kesehatan Daerah Militer V Brawijaya.
Terakhir, Achmad yang waktu mahasiswa pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa ini, menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H