Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menyampaikan hal menarik dalam wawancara khususnya dengan Harian Kompas, yang dimuat pada edisi Kamis, 20/2/2020 lalu.
Muhadjir memberi gambaran tentang bagaimana terbentuknya keluarga miskin baru. Salah satunya karena keluarga miskin biasanya berbesanan dengan keluarga yang juga miskin. Lingkaran kemiskinan inilah yang harus dipotong.
Caranya antara lain dengan memberikan pembekalan pra-nikah. Jika saat dicek profilnya, si calon pengantin belum punya pekerjaan atau ketrampilan untuk pegangan hidup, akan diikutsertakan dalam program pelatihan. Mereka juga jadi prioritas untuk dapat kartu prakerja.
Sama sekali Muhadjir tidak membicarakan idenya yang menghebohkan yaitu tentang perlunya fatwa agar orang kaya menikahi orang miskin. Hal ini banyak dimuat berbagai media, termasuk beberapa tulisan di Kompasiana.
Sadar bahwa pernyataannya telah terlalu jauh ditafsirkan oleh masyarakat, Muhadjir pun memberikan klarifikasi. Dilansir dari kumparannews (20/2/2020), Muhadjir menyebutkan ide tersebut berupa intermezo atau selingan saja. Fatwa itu maksudnya sebatas dijadikan gerakan moral.
Baiklah, kita anggap saja maksud Muhadjir memang sekadar intermezo. Terlepas dari itu, sekadar berandai-andai saja, jika ada seorang pemuda dari keluarga kaya yang memperistri seorang pemudi dari keluarga miskin, tentu merupakan hal yang baik dan tidak salah kalau disebut memutuskan mata rantai kemiskinan.Â
Masalahnya, kecuali dalam film atau novel, pada kenyataannya hal itu relatif sulit terjadi. Jangan dikira hanya orang kaya saja yang enggan berbesanan dengan orang miskin. Orang miskin pun tidak kalah tersiksa batinnya bila ditakdirkan berbesanan dengan keluarga kaya. Makan hati karena mungkin tidak dianggap.
Kita orang Indonesia tentu tahu, meskipun yang menikah itu hanya antar seorang pemuda dengan seorang pemudi, namun budaya kita telah menempatkan perkawinan sebagai penyatuan dua keluarga.
Anggap saja ada sepasang suami istri yang berbeda jauh status sosialnya. Bisa jadi saat mereka baru membina mahligai rumah tangga, betul-betul saling mencintai, sehingga si istri yang berasal dari keluarga tidak berpunya, tidak merasa diremehkan.
Tapi jika kedua orang tua si suami tidak memperlakukanku besannya dengan baik, sementara besan juga sangat sungkan dan merasa minder, hubungan kekeluargaan akan berlangsung dengan hambar. Bahkan orang tua si istri mungkin merasa sudah kehilangan anaknya.
Saya sendiri melihat langsung ketidaknyamanan keluarga dari pasangan yang berbeda "kasta", karena dialami oleh famili saya sendiri.Â
Pak Etek (adik dari ayah) saya, yang datang dari keluarga biasa-biasa saja (bukan keluarga miskin, tapi punya penghasilan yang hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari), berjodoh dengan gadis dari keluarga kaya dan terpandang di Payakumbuh, Sumbar.
Hanya di tahun pertama perkawinan saja, kedua keluarga yang berbesanan ini saling berkunjung di hari lebaran. Setelah itu, meskipun kedua keluarga tinggal di kota yang sama, tidak lagi membaur.Â
Bahkan pak etek saya itu tidak bisa dekat dengan saudara-saudara iparnya. Di sore hari sepulang dari kantor, ia lebih banyak main di rumah orang tuanya, baru malam pulang ke rumah pribadi yang dibangun oleh istrinya.
Tapi harus diakui, pak etek saya itu berhasil meningkatkan status sosialnya. Ia sudah jadi orang kaya. Betapa tidak, ketika tak banyak orang yang punya rumah bagus dan mobil pada tahun 1970-an, pak etek telah memilikinya.
Namun sayangnya seperti yang disinggung di atas, tak terjalin hubungan silaturahmi antar dua keluarga yang berbesanan. Makanya, dari kacamata umum, kondisi rumah tangga yang normal adalah apabila orang kaya berjodoh dengan orang kaya, demikian pula dengan sesama orang kurang berada.
Perlu dicatat, meskipun sesama orang yang kurang berada berbesanan, tidak otomatis pasti mewariskan kemiskinan pada anak-anaknya. Ayah dan ibu saya sendiri, masing-masing berasal dari keluarga yang sama-sama kurang berada.
Namun berkat kegigihan kedua orang tua kami memperhatikan pendidikan anak-anaknya, alhamdulillah, saya bersaudara rata-rata punya kondisi ekonomi yang lebih baik. Maksudnya lebih baik dari yang dialami kedua orang tua kami dulu, walaupun masih belum pas untuk disebut orang kaya.
Jadi, untuk memutuskan lingkaran kemiskinan, cara yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Program wajib belajar 12 tahun harus disukseskan. Beasiswa sampai level pendidikan tinggi bagi mereka yang kurang mampu, harus diperbanyak.
Maka bagi pasangan yang sama-sama kurang mampu secara ekonomi seperti mereka yang ikut program nikah massal yang sering digelar pemerintah di berbagai daerah, jangan cepat putus asa.Â
Anak-anaknya harus mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Jangan kecil-kecil sudah dipekerjakan sehingga terkesan mengeksploitasi anak.
Kembali ke soal jodoh, kalau memang Tuhan menghendaki, keluarga kaya bisa saja berbesanan dengan keluarga miskin. Tapi mengingat tak banyak kejadian seperti itu, jangan sampai tidak menikah, kalau tidak dapat orang kaya.
Namun pada akhirnya kembali pada pilihan hidup. Mencari jodoh orang kaya terkesan merupakan jalan pintas, sehingga ada perempuan yang mau jadi istri kedua yang dinikahi secara siri.
Bahkan ada yang lebih parah yakni para wanita yang terlibat dalam kawin kontrak, biasanya dengan turis dari Timur Tengah. Ada yang bilang hal ini sebagai prostitusi terselubung, penyakit sosial yang sebaiknya diberantas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H