Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dalam Beberapa Hal, Indonesia Memang Terkesan Sudah Jadi Negara Maju

2 Maret 2020   08:09 Diperbarui: 3 Maret 2020   05:00 2256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi peta Indonesia| Sumber: Thinkstocks/Naruedom

Sebetulnya kalau pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai Indonesia telah tergolong sebagai negara maju, dilihat dari beberapa hal mungkin ada benarnya, dalam arti terkesan seperti negara maju.

Namun faktanya kita memang belum layak menyandang status terhormat itu. Bahkan pemerintah menargetkan baru akan tercapai pada tahun 2045 mendatang. 

AS ditengarai sengaja memberi label negara maju buat Indonesia, karena ada kepentingan tersamar agar lebih menguntungkan mereka dalam transaksi perdagangannya.

Tapi hal tersebut tidak menjadi fokus tulisan ini.  Tanpa diperkuat dengan data kuantitatif yang memadai, tulisan pendek ini hanya ingin mengangkat beberapa hal yang membuat kesan bahwa Indonesia sudah maju.

Pertama, bila kita melihat semaraknya gedung pencakar langit di beberapa jalan protokol di ibu kota Jakarta, rasanya tidak salah lagi, sudah sebelas dua belas dengan Singapura, Tokyo, bahkan dengan kawasan Manhattan di New York.

Meskipun di balik gemerlapnya Jakarta masih banyak kawasan kumuh dengan gang sempit yang sering kebanjiran. Tapi ini tidak terlihat dari balik kaca, bila kita makan malam di rooftop Hotel Westin Gamma Tower yang berlantai 69 dan sementara ini tercatat sebagai gedung tertinggi di Indonesia.

Kedua, mal-mal di Jakarta dan sekitarnya, serta di kota besar lain di tanah air, terbilang banyak dan dari sisi kemegahannya juga tidak kalah dengan yang terdapat di negara maju. Ini merupakan indikasi bahwa konsumsi kelas menengah kita lumayan dahsyat.

Jalan-jalanlah di jam makan siang atau makan malam di Plaza Indonesia, Grand Indonesia, Senayan Plaza, Senayan City, Pacific Place, Central Park, Mal Taman Anggrek, Pondok Indah Mall, Mal Kelapa Gading, dan banyak lagi yang lainnya, pasti akan menemukan banyak sekali orang yang lagi makan di food court-nya. 

Melihat harga makanan di mal yang dua kali lipat ketimbang di warung biasa, jelaslah bahwa para pelanggan mal adalah kelompok kelas menengah. Dan jumlah mereka relatif banyak, makanya mal-mal tetap berkembang.

Ketiga, kenapa kemacetan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota besar lainnya tetap tidak bisa dikurangi? Ya, anda benar, karena jumlah kendaraan bermotor selalu bertambah, tidak sebanding dengan pertambahan jalan raya.

Sekarang orang punya mobil sudah hal yang biasa. Mereka yang punya mobil mewah baru dianggap orang kaya. Padahal dulu sampai dekade 1980-an, punya sepeda motor saja, sudah dianggap orang berpunya.

Keempat, jargon sebuah maskapai penerbangan yang menyatakan sekarang semua orang bisa terbang, sudah terbukti tidak sekadar iklan. Awalnya hal ini didukung oleh harga tiket yang murah.

Setelah harga tiket pesawat naik, banyak yang protes. Namun kenyataannya bandara di berbagai kota di Indonesia tetap ramai dengan orang yang baru mendarat atau yang hendak terbang.

Bandara di kota-kota provinsi pun sudah direnovasi, lebih luas, lebih nyaman dan arsitekturnya bergaya kekinian. Sungguh tidak lagi terlihat seperti di negara dengan penduduk miskin yang masih banyak.

Kelima, mengunjungi destinasi wisata di dalam negeri dan bahkan ke luar negeri, termasuk untuk menjalankan ibadah umroh, sekarang seperti sudah jadi agenda rutin tahunan bagi banyak orang. 

Kalau saja mereka hanya punya uang sekadar untuk makan sehari-hari, tentu tak mungkin mengunjungi destinasi wisata atau pergi ke tanah suci. Lihat saja begitu pemerintah Arab Saudi menghentikan menerima jamaah umroh dari luar negaranya, yang paling terdampak adalah jamaah Indonesia.

Keenam, dari sisi kreativitas berusaha, banyak anak muda yang menciptakan produk UMKM yang  mampu bersaing karena dikemas secara menarik. Banyak pula yang sukses berbisnis secara online.

Jadi tidak semuanya kelas menengah kita berperilaku konsumtif. Sebagian di antaranya berpikir dan bertindak produktif. Produk makanan lokal yang diwaralabakan sudah cukup banyak dan bersanding dengan makanan asal luar negeri.

Ketujuh, mayoritas lulusan sekolah menengah memilih melanjutkan studi di perguruan tinggi. Artinya banyak orang tua yang mampu menguliahkan anaknya. Padahal biayanya tidak murah, di perguruan tinggi negeri sekalipun. Apalagi di perguruan tinggi swasta.

Kedelapan, hampir semua orang punya telepon seluler, punya rekening bank, punya kartu debit atau kartu kredit. Bahkan tidak sedikit yang punya beberapa buah telepon dan kartu bank. Jelas semua "asesoris" itu sama dengan yang dipakai warga negara maju.

Dok. merdeka.com
Dok. merdeka.com
Tulisan di halaman opini harian Kompas, Jumat (28/2/2020), memperkuat uraian di atas dengan mengutip laporan Bank Dunia (2020). Menurut laporan tersebut, konsumsi domestik kelas menengah yang tumbuh rata-rata 12 persen per tahun menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Masih menurut laporan yang sama, terdapat 52 juta orang di Indonesia yang masuk kelas menengah mapan. Inilah yang jadi sasaran berkembangnya kompleks perumahan mewah, dan bahkan juga kompleks pemakaman mewah.

Masih banyak hal lain yang menghadirkan kesan betapa majunya negara kita. Tapi beberapa hal di atas rasanya sudah cukup mewakili. Bagi yang kurang percaya, lihat saja berbagai akun media sosial warganet Indonesia. Pasti bertebaran foto atau video mereka yang terlihat bahagia.

Namun pembaca jangan curiga. Tak ada niat tulisan ini sebagai promosi buat Jokowi. Karena pada dasarnya ini prestasi kumulatif dari presiden-presiden sebelumnya hingga sekarang. Bahkan termasuk pula kontribusi Pak Harto yang dihujat di akhir masa kekuasaannya.

Satu lagi tak dapat dipungkiri, istilah "terkesan" boleh diartikan sebagai "seolah-olah". Ya, kita terkesan sudah maju. 

Tapi bagi yang ingin membantah, tak perlu menunjukkan bukti kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, Maluku atau Papua yang masih relatif tertinggal, karena di Jakarta pun masih banyak warga yang tinggal di rumah kardus atau triplek bekas yang terletak di bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, atau di kolong jembatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun