Nah, trik untuk "menyulap" laporan keuangan itulah yang disebut dengan window dressing. Para analis banyak yang memahami trik-trik dalam laporan keuangan, makanya direksi perusahaan sangat hati-hati menghadapi analis.
Tapi tidak begitu dengan para jurnalis, walaupun mereka jurnalis di bidang ekonomi. Rata-rata para jurnalis adalah lulusan S1 dari berbagai disiplin ilmu.Â
Namun itu saja tidak cukup. Jurnalis harus rajin membaca. Akan lebih baik lagi bila media tempat jurnalis bekerja, memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau kursus singkat, minimal sekali setahun.
Tentu ini tidak hanya berlaku pada jurnalis bidang ekonomi saja. Pada hakikatnya semua jurnalis dituntut untuk tidak pernah berhenti menimba ilmu.
Dengan demikian kontribusi para jurnalis dalam mencerdaskan bangsa dan juga memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah, dunia usaha, atau pihak lainnya, akan lebih meningkat.
Jangan gampang terlena dengan predikat pers sebagai pilar demokrasi keempat, setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Predikat itu akan terpelihara bila pers memang membuktikan diri punya kemampuan setara dengan tiga pilar yang utama.
Memang sekarang ini, beberapa media besar seperti grup Kompas Gramedia, grup Majalah Tempo, punya jurnalis yang berkualitas, karena sering diberi kesempatan menambah pengetahuan.
Tapi secara keseluruhan, para jurnalis di negara kita perlu memacu diri untuk meningkatkan kemampuannya, terutama dengan terus menerus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H