Dalam sebuah acara ajang pencarian bakat penyanyi dangdut yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta, saya tertarik mendengarkan komentar Inul Daratista yang bertindak sebagai salah satu juri.
Ketika itu baru saja seorang peserta selesai tampil menyanyi dan dilanjutkan dengan obrolan ringan dengan pembawa acara. Ya namanya juga reality show, tentu pembawa acara harus pintar menggali kisah sedih yang pernah dialami para peserta.
Kebetulan si peserta yang saya maksud menceritakan bahwa ia tidak tamat SMP, karena di samping ekonomi orang tua yang tidak mendukung, ia merasa telah mampu mendapat uang dengan menyanyi di acara pernikahan atau acara lainnya, walaupun baru sebatas level kampung.
Inul Daratista yang merasa latar belakangnya mirip dengan perserta itu, langsung berkomentar dengan mata yang berkaca-kaca.
"Saya juga tidak tamat SMP. Saya telah mengecewakan orang tua saya. Tapi saya tidak menyesal, karena kemudian berhasil membuktikan kemampuan saya," begitu lebih kurang komentar Inul yang terkenal dengan goyang ngebor-nya itu.
Apakah Inul memang tidak menyesal? Mungkin saja ia berkata jujur. Toh buktinya sekarang Inul adalah artis nasional papan atas, yang tentu berlimpah kekayaan.
Tapi bagi anak-anak yang masih dalam usia sekolah perlu hati-hati mencermati komentar Inul. Bagaimanapun juga, program wajib belajar selama 12 tahun, maksudnya sampai tamat SMA atau sederajat, harus dipandang bukan sebagai kewajiban semata.Â
Malah sebetulnya lebih tepat disebutkan merupakan hak semua anak, karena penting sekali untuk masa depannya, terlepas dari apapun nanti pekerjaannya.
Dulu di era saya masih duduk di bangku SD tahun 1970-an, ada beberapa teman saya yang berhenti sampai kelas 5 saja. Alasannya karena ia sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung.
Menurut teman itu, tujuan sekolah adalah untuk mencari uang. Jadi, kalau sudah mampu mendapatkan penghasilan, buat apa capek-capek belajar?
Nah dalam usia yang masih sangat remaja, si teman ini "dikader" oleh ayahnya sebagai pengemudi delman (bahasa Minang: kusia bendi).
Hanya beberapa bulan proses pengkaderan, si teman sudah bisa mengemudi delmannya. Tampaknya tidak ada semacam SIM untuk jadi pengemudi delman, dan tak ada pula usia minimal agar bisa jadi pengemudi.
Ada juga teman saya yang lain, sempat sekolah sampai kelas 2 STM (Sekolah Teknik Menengah, sekarang jadi SMK). Ia berhenti sekolah karena dibelikan bapaknya sebuah angkot, dan ia yang jadi pengemudi.
Atau mungkin juga gara-gara ia tak mau sekolah, baru kemudian bapaknya membelikan sebuah angkot, agar ia tak jadi penganggur.Â
Yang jelas setelah itu pamornya cepat naik, karena tak banyak supir angkot yang sekaligus jadi pemilik. Tak heran ada saja gadis cantik yang mau dipacarinya.Â
Kalau dipikir-pikir, setinggi apapun kita sekolah atau kuliah, pada akhirnya harus bekerja juga. Bisa bekerja pada pemerintah, perusahaan swasta, atau malah berwirausaha.Â
Maka ketika pekerjaan itu sudah dalam genggaman, padahal sekolah belum kelar, di sinilah datang godaan. Pada masa-masa remaja, biasanya sudah kelihatan kemampuan seseorang, terutama di bidang seni dan olahraga.
Tidak heran jika ada di antara siswa sekolah menengah yang keteteran belajar, karena malamnya tampil bernyanyi di panggung, atau sibuk syuting sinetron. Ada juga yang tampil di lapangan hijau sebagai pemain klub sepak bola. Dan semua ada honornya.
Tapi sangat keliru kalau menafsirkan karena peluang tidak datang dua kali, tinggalkan saja sekolah agar bisa fokus mengembangkan karir.
Justru kalau ingin karirnya berkembang dan bertahan lama, perlu diperkaya dengan wawasan yang luas, dan itu didapat dengan rajin belajar.
Saya tidak tahu bagaimana nasib teman saya yang menarik delman sekarang ini. Soalnya, di Payakumbuh, Sumbar, kota kelahiran saya, sudah susah menemukan delman. Mungkin tidak boleh lagi beroperasi.
Begitu pula teman saya yang jadi supir angkot, mungkin sekarang sudah ganti profesi, gara-gara hampir semua orang di sana sekarang minimal sudah punya motor. Kalau pun tak punya, warga kota lebih senang naik ojek kalau bepergian.
O ya, baru-baru ini juga ada kisah spektakuler, seseorang di Sulawesi Selatan yang mampu merakit pesawat terbang ukuran kecil, meskipun ia tidak tamat SD
Bayangkan betapa dahsyatnya bila si perakit pesawat itu berkesempatan menimba ilmu di perguruan tinggi pada bidang yang relevan.
Bagi yang terlanjur putus sekolah, baik karena terpaksa maupun karena sengaja, perlu kembali membangkitkan semangat belajar.
Bukankah yang namanya belajar, tidak harus didapatkan di bangku sekolah atau perguruan tinggi saja? Bisa juga melalui home schooling atau belajar sendiri. Apalagi sekarang materi pelajaran tersebar di dunia maya.
Inul sendiri walaupun tidak tamat SMP, namun setelah mengorbit di tingkat nasional, ia tak lupa untuk menambah wawasan, sehingga jika diwawancarai jurnalis atau berkomentar di layar kaca, tidak malu-maluin.
Mengingat posisi Inul yang sudah menjadi public figure dan jadi panutan bagi banyak penggemarnya yang masih remaja, alangkah baiknya bila Inul berkomentar positif, yang memandang betapa pentingnya pendidikan.
Maksudnya bagi remaja yang berbakat mengikuti jejak Inul sebagai penyanyi dangdut yang sukses, diberi semangat untuk tidak melupakan sekolahnya, minimal sampai tamat SMA atau sederajat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H