Hanya beberapa bulan proses pengkaderan, si teman sudah bisa mengemudi delmannya. Tampaknya tidak ada semacam SIM untuk jadi pengemudi delman, dan tak ada pula usia minimal agar bisa jadi pengemudi.
Ada juga teman saya yang lain, sempat sekolah sampai kelas 2 STM (Sekolah Teknik Menengah, sekarang jadi SMK). Ia berhenti sekolah karena dibelikan bapaknya sebuah angkot, dan ia yang jadi pengemudi.
Atau mungkin juga gara-gara ia tak mau sekolah, baru kemudian bapaknya membelikan sebuah angkot, agar ia tak jadi penganggur.Â
Yang jelas setelah itu pamornya cepat naik, karena tak banyak supir angkot yang sekaligus jadi pemilik. Tak heran ada saja gadis cantik yang mau dipacarinya.Â
Kalau dipikir-pikir, setinggi apapun kita sekolah atau kuliah, pada akhirnya harus bekerja juga. Bisa bekerja pada pemerintah, perusahaan swasta, atau malah berwirausaha.Â
Maka ketika pekerjaan itu sudah dalam genggaman, padahal sekolah belum kelar, di sinilah datang godaan. Pada masa-masa remaja, biasanya sudah kelihatan kemampuan seseorang, terutama di bidang seni dan olahraga.
Tidak heran jika ada di antara siswa sekolah menengah yang keteteran belajar, karena malamnya tampil bernyanyi di panggung, atau sibuk syuting sinetron. Ada juga yang tampil di lapangan hijau sebagai pemain klub sepak bola. Dan semua ada honornya.
Tapi sangat keliru kalau menafsirkan karena peluang tidak datang dua kali, tinggalkan saja sekolah agar bisa fokus mengembangkan karir.
Justru kalau ingin karirnya berkembang dan bertahan lama, perlu diperkaya dengan wawasan yang luas, dan itu didapat dengan rajin belajar.
Saya tidak tahu bagaimana nasib teman saya yang menarik delman sekarang ini. Soalnya, di Payakumbuh, Sumbar, kota kelahiran saya, sudah susah menemukan delman. Mungkin tidak boleh lagi beroperasi.
Begitu pula teman saya yang jadi supir angkot, mungkin sekarang sudah ganti profesi, gara-gara hampir semua orang di sana sekarang minimal sudah punya motor. Kalau pun tak punya, warga kota lebih senang naik ojek kalau bepergian.