Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Amplop Kosong Pelunas Utang sebagai Kado Pernikahan

8 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 8 Februari 2020   00:15 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terperangah membaca berita salah satu media daring. Sebetulnya berita ringan sih. Tak ada kaitannya dengan politik atau ekonomi. 

Eh, kalau untuk ekonomi kayaknya ada kaitannya, meskipun ekonomi dari individu tertentu saja. Saya tidak ingin menulis kembali apa yang diberitakan, karena foto di atas sudah berbicara sendiri.

Awalnya saya tersenyum sehabis membacanya. Lucu. Tapi setelah saya berpikir ulang, ini bukan pesan yang diniatkan untuk bercanda, tapi hal yang sangat serius.

Paling tidak, kita bisa melihat pesan yang boleh dibilang nyeleneh ini dari dua sisi, dari pihak yang menulis pesan dan pihak yang menerima atau yang menjadi tujuan dari pesan tersebut.

Saya yakin si penulis pesan sudah berpikir matang, mulai dari ia mendapatkan ide "gemilang" itu sampai berani menuliskannya. Pasti awalnya ada pro kontra di hati si penulis, sebelum akhirnya memutuskan untuk bertindak nekat begitu.

Memang betapa kesalnya bila ada teman yang punya utang pada kita, yang selama ini sangat sulit ditagih, malah harus kita kasih hadiah, karena kita diundang di acara resepsi pernikahannya.

Kalau pun banyak di antara kita yang tidak tega untuk tidak memberikan hadiah berupa uang dalam amplop sesuai dengan kelaziman saat ini, maka itu barangkali dilakukan secara tidak ikhlas.

Jelaslah kalau disebut bahwa si penulis pesan dalam amplop itu sebagai orang yang mempunyai ide brilian, rasanya tidak begitu. Bagi orang lain yang menghadapi kasus serupa, sangat mungkin juga mempunyai ide seperti itu.

Namun yang pantas dihargai dari si penulis pesan adalah keberaniannya buat melaksanakan idenya itu. Orang lain mungkin takut karena bisa berdampak tidak enak bagi si pengantin dan merusak masa depan persahabatan mereka.

Apalagi yang membaca pesan tidak hanya si pengantin yang menjadi sasaran saja, tapi mungkin juga pasangan hidupnya yang baru saja dinikahi. Bahkan mungkin pula dibaca oleh orang tua dan mertua si pengantin yang punya utang itu.

Artinya, pesan yang bisa dikatakan telah "menelanjangi" si pengantin tersebut, jelas mempermalukan dan boleh jadi menurunkan citranya di mata pasangan dan juga mertuanya.

Apalagi bila misalnya nama si pengutang ikut dituliskan di amplop dan akhirnya beredar menjadi berita yang viral di media sosial, lengkap sudah vonis sebagai orang yang tidak bisa dipercaya harus diterima si pengutang.

Padahal mungkin saja ia telah merencanakan untuk membayar utang setelah acara pernikahannya selesai. Tapi karena tidak dikomunikasikan dengan baik, dinilai sebagai keinginan untuk mengemplang utang oleh si penulis pesan, karena sudah capek menagih.

Maka kalau hubungan persahabatan antar teman yang sebelumnya terlibat utang piutang itu, akan terputus, itulah risiko yang harus dihadapi.

Bagaimanapun juga, kasus di atas menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang suka berutang kepada teman-temannya. Pengutang yang baik adalah yang jujur dan bertanggung jawab.

Bila karena sesuatu hal mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman, harus diinformasikan secara baik-baik kepada  teman yang meminjamkan uang. Jangan didiamkan dan juga jangan menghindar atau mencari alasan yang terkesan dibuat-buat.

Jika pengutang akan mengadakan acara pernikahan dan tidak ingin dipermalukan, lunasi dulu utang kepada semua teman-temannya. Atau seperti disinggung di atas, terangkan kendala yang dihadapi sambil menyerahkan undangan.

Memang rada aneh, bila misalnya acara pernikahannya berlangsung secara mewah, namun si pengantin malah mendiamkan utangnya atau mengaku belum punya uang untuk membayar utang yang jumlahnya relatif kecil.

Berutang itu enak, yang berat mengembalikannya. Pertimbangkan dengan matang sebelum berutang dan jadikan sebagai pilihan terakhir, bila betul-betul tidak ada jalan lain. 

Jika terpaksa berutang, harus dalam jumlah yang masih terjangkau untuk membayarnya, baik dengan mencicil maupun sekaligus.

Sedangkan bagi mereka yang sulit mengelak untuk tidak meminjamkan uang kepada teman baiknya, juga perlu mempertimbangkan dengan matang. Ukur kemampuan dan kejujurannya. Cermati pula gaya hidupnya.

Jika tidak ada keyakinan uang kita akan kembali, tolak dengan baik-baik. Atau pinjamkan sejumlah uang yang masih dalam batas toleransi untuk diikhlaskan sebagai pemberian semata, bila nanti tidak tertagih.

Banyak hubungan antar saudara dan antar teman yang putus gara-gara utang piutang. Sekali lagi, idealnya jangan sampai berutang. Dan ini akan tercipta bila antar saudara atau antar teman tercipta rasa saling menghargai. 

Kalau kita punya uang lebih, di pihak lain ada saudara atau teman yang betul-betul butuh pertolongan, ikhlas memberikan bantuan  tentu akan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun