Belum lagi bangkai kuda yang membusuk bergelimpangan dan juga bangkai kendaraan tank, senjata dan perlengkapan perang lainnya yang berkarat.
Memang film ini dominan juga unsur drama dari dua aktor utamanya, Dean-Charles Chapman yang memerankan Kopral Tom Blake, dan George MacKay yang memerankan Kopral William Schofield.
Kedua kopral itu mendapat tugas yang amat sulit yang diterimanya langsung dari seorang jenderal, untuk menyerahkan surat yang ditujukan kepada seorang kolonel yang memimpin batalyon di garis depan.Â
Untuk itu, kedua kopral ini harus melewati daerah tak bertuan, namun tetap banyak bahaya yang mengintai. Tom Blake akhirnya ditusuk dalam perjalanannya oleh tentara musuh.Â
Padahal Tom Blake lah yang paling bersemangat untuk menuntaskan misi menyerahkan surat tersebut. Soalnya di garis depan itu ada kakaknya yang juga jadi tentara Inggris.
Adapun surat itu sendiri berisi pesan untuk membatalkan penyerangan karena memang itulah pancingan yang diinginkan tentara Jerman yang memakai strategi jebakan. Ada 1.600 tentara Inggris yang akan jadi korban, bila pesan itu tidak sampai.Â
Kamera lebih banyak menyorot pergerakan dua orang kopral, yang setelah salah seorang tewas, tinggal satu aktor utama saja, yang berjuang habis-habisan agar misinya berhasil.
Walaupun demikian, 1917 tidak kekurangan kesan kolosalnya. Ini terlihat dari adegan yang menggambarkan betapa banyaknya tentara Inggris di "markas" yang menjadi tempat persembunyiannya.
Markas tersebut hanya berupa lahan yang dibentengi dengan tumpukan karung pasir. Ada pula yang berupa lubang perlindungan yang di sana sini banyak kawah berlumpur bekas tembakan meriam.
Tekanan mental yang diderita para prajurit sungguh menyayat hati. Mereka seperti sudah "mati" sebelum mati yang terlihat dari wajah kuyunya. Tatapan mereka kosong. Tergambar pula kalau mereka tidur beralaskan tanah atau sambil duduk memunggungi karung pasir.Â
Kembali kepada kekhawatiran bila terjadi perang dunia lagi. Jika itu terjadi, Indonesia kemungkinan besar tidak akan ikut berperang.Â