Topik pilihan kali ini tentang jabatan idaman sungguh menggoda saya untuk ikut nimbrung menuliskan pengalaman dan pengamatan saya selama berkarir di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tergolong papan atas.
Mungkin sudah rahasia umum, terutama di era Orde Baru dulu, nuansa nepotisme dalam meniti karir di BUMN, ikut menentukan.Â
Saya tidak ingin membantah itu, tapi keliru bila hanya mengandalkan nepotisme tanpa menunjukkan prestasi kerja, bila ingin menggapai jabatan impian.
Apalagi nepotisme itu agak sulit dibuktikan, hanya berupa bisik-bisik antar karyawan saja yang memperbincangkan Si A dipromosikan karena familinya orang kuat. Ada juga yang bilang karena satu alumni saat kuliah, satu daerah asal, satu marga, dan sebagainya.
Pertanyaan standar waktu dulu dalam acara "gosip", sebetulnya sekarang juga kadang-kadang muncul, setiap ada pejabat level menengah dipromosikan ke jabatan lebih tinggi, adalah: Si B itu (yang mendapat promosi), orangnya siapa sih?
Maka bagi staf yang baru meniti karir dan tidak punya "cantelan" di level atas, jangan buru-buru putus asa. Seorang atasan saya pernah memberi nasehat, bahwa yang penting adalah "bertelur dan berkotek".
Bertelur maksudnya menghasilkan sesuatu dalam bekerja sesuai dengan yang ditargetkan oleh atasan. Bahkan kalau bisa pencapaian kita melebihi target.Â
Sedangkan berkotek maksudnya kita harus pintar mempresentasikan pencapaian kita dalam forum yang tepat. Misalkan saat rapat koordinasi, evaluasi semesteran, atau saat melaporkan ke atasan.
Prinsip "diam itu emas" harus dimodifikasi. Saat dalam proses bertelur boleh saja diam, agar bisa berkonsentrasi. Tapi begitu telur itu dihasilkan, jangan diam saja, nanti bisa diklaim sebagai telurnya orang lain.
Jika kita berkotek dengan pas takarannya, tidak terkesan arogan, juga tidak terkesan terlalu lembek, maka atasan kita akan memberikan apresiasi.
Yang jelas tetap sampaikan bahwa kita masih ingin mencapai hasil yang lebih besar lagi. Kemukakan pula apa kendala yang dihadapi, tapi sekaligus sampaikan rencana dan usulan kita untuk mengatasi kendala itu.
Artinya atasan tidak kita minta mencari solusi, tapi kita yang menyodorkan solusi, kalau perlu dalam beberapa alternatif. Atasan akan senang karena tinggal memilih dan memutuskan alternatif mana yang disetujuinya.
Dengan demikian, kita sudah masuk kriteria sebagai karyawan unggulan. Memang belum jadi jaminan akan dipromosikan, namun paling tidak sudah masuk radar dari Divisi Human Capital (Sumber Daya Manusia), divisi yang paling berwenang mengusulkan promosi karyawan kepada Direksi.
Bahkan bisa jadi bila kita "berkotek" dengan pas di depan Direksi, maka Direksi sendiri yang kepincut, dan menginstruksikan kepada Divisi Human Capital untuk memproses promosi kita.
Tapi yang saya paparkan di atas, merupakan gambaran ideal, yang kenyataannya bisa tidak seperti itu. Maksudnya, yang menjadi lawan kita yang juga bertelur dan berkotek itu, mungkin ada beberapa orang.
Jangan kaget bila tiba-tiba jabatan yang kita incar diberikan kepada karyawan yang menghasilkan telur tidak sebanyak kita, dan mungkin berkoteknya juga biasa-biasa saja.
Gampang sebetulnya mendeteksi seseorang yang naik hanya karena faktor nepotisme semata. Biasanya saat direktur (atau bahkan mungkin menteri) yang menjadi cantelannya sudah habis periode jabatannya, habis pulalah si saingan kita itu.
Namun kalau yang terlibat nepotisme itu juga termasuk yang bertelur dan berkotek, biasanya ia akan tetap selamat, karena pintar menyesuaikan diri dengan Direksi yang baru.
Maka mau tak mau, kriteria nepotisme harus ikut dipertimbangkan. Tapi agar tidak terkesan negatif, saya lebih suka menggantinya dengan istilah politicking alias berpolitik. Bukan ikut partai politik, namun semacam cara untuk mendekatkan diri pada orang-orang yang punya posisi menentukan.
Ikut main golf, atau ikut komunitas tertentu yang anggotanya adalah para petinggi perusahaan  atau petinggi di instansi pemerintah, adalah salah satu cara berpolitik yang saya maksudkan. Bisa pula dengan aktif bergaul dengan pengurus partai koalisi yang berkuasa.
Tapi jangan salah mengerti dengan judul tulisan saya, yang seolah-olah mempertentangkan politik dan prestasi. Karena sebetulnya menurut saya keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Nah, dalam hal ini saya ingin menyarankan bahwa syarat mutlak yang harus dipenuhi terlebih dahulu adalah berprestasi. Baru setelah itu, kalau masih belum "nendang'', perlu berpolitik.
Tapi agar tidak kecewa, berpolitiklah dengan santun, dengan niat mencari persahabatan. Maksudnya, kita tidak kasak-kusuk demi jabatan, itu terlalu kasar. Jadi kalaupun jabatan yang diidamkan belum diraih, kita tidak down dan masih punya harapan, karena pertemanan itu adalah investasi.
Tentang pengalaman saya sendiri, agak sedikit unik. Saya jujur mengakui tidak bisa berpolitik. Tapi saya punya sedikit keberuntungan karena di paruh pertama dekade 90-an saya beberapa kali menulis opini tentang perekonomian yang dimuat oleh koran Kompas.
Dari aktivitas menulis itulah nama saya masuk radar Divisi Human Capital. Perlu diketahui, perusahaan tempat saya berkarir merupakan BUMN dengan jumlah karyawan amat banyak (punya kantor cabang di semua kabupaten, bahkan ada cabang pembantu di kota kecamatan), sehingga tanpa sesuatu yang menonjol, sulit untuk masuk radar tersebut.
Tapi kelemahan saya, ya itu tadi, tidak bisa berpolitik, namun saya sangat bersyukur bisa finish di posisi kepala divisi. Level di atas itu adalah Direksi yang penunjukannya merupakan kewenangan Kementerian BUMN.
Sebagai penutup, perlu dicamkan, sepanjang kita mencintai pekerjaan dan bisa menikmatinya, apalagi ikhlas diniatkan sebagai ibadah, maka ada atau tidak ada jabatan, tidaklah masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H