Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

HIKCTN, Hari Ini Kita Cerita Tentang Nanti

14 Januari 2020   00:07 Diperbarui: 14 Januari 2020   00:12 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kegemaran saya adalah menonton film di bioskop. Tapi sejak beberapa tahun terakhir ini, saya sering ke bioskop berdua saja sama istri. 

Anak-anak saya yang juga suka ke bioskop, sejak mereka duduk di bangku SMA, mulai malas kalau diajak oleh orang tuanya. Tidak saja karena jenis film yang disukai berbeda, tapi juga karena mereka lebih senang pergi bersama teman-temannya.

Biasanya saya agak khawatir, terutama terhadap anak bungsu saya yang satu-satunya perempuan dari tiga bersaudara, bila sampai jam 10 malam belum sampai di rumah, meskipun sudah dari siang pergi ke mal dengan teman-temannya untuk menonton film.

Tapi Sabtu (11/1/2020) malam lalu, entah angin apa yang membawa pesan, ke tiga anak saya kompak mengajak saya dan istri untuk menonton film nasional yang tengah booming saat ini, yang berjudul "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini" atau disingkat dengan NKCTHI. 

Film yang berasal dari novel dengan judul yang sama itu, belum saya ketahui bercerita tentang apa, karena saya memang tidak membaca novelnya.

Tapi untunglah karena saya rutin membaca tulisan di Kompasiana, dari tulisan beberapa teman kompasianer, saya tahu NKCTHI termasuk film yang direkomendasikan untuk ditonton, baik untuk orang tua, maupun anak-anak yang sudah remaja.

Soalnya, tema besarnya adalah tentang komunikasi antar orang tua dan anak. Cinta orang tua yang dikomunikasikan secara tidak tepat, malah diterima sebagai bentuk pengekangan yang membuat anak-anak tidak nyaman.

Oke, saya dan istri menerima ajakan anak-anak saya dan siap untuk dihakimi mereka apabila saya dianggap sebagai ayah yang tidak mampu berkomunikasi dengan anak-anak seperti tokoh ayah di NKCTHI.

Saya akui bahwa beberapa kali anak saya pernah menunjukkan "perlawanan" dengan mengatakan bahwa ia sudah besar, jangan dianggap anak-anak terus. 

Ternyata ucapan seperti itu muncul di film NKCTHI. Ya, untuk beberapa hal memang ada kesamaan antara pengalaman saya dengan tokoh ayah di film tersebut.

Tapi secara umum saya merasa tidak separah si ayah di NKCTHI. Soalnya si ayah membeda-bedakan perlakuan terhadap ketiga anaknya. Anak sulung dibebani tugas mengawal adik-adiknya, terutama si bungsu, bahkan sampai si bungsu sudah bekerja. 

Anak kedua kurang mendapat perhatian, tapi anak bungsu terlalu dilindungi sehingga tidak dibolehkan mengambil keputusan sendiri. Semuanya ayah yang mengatur.

Sedangkan yang saya lakukan, rasanya telah mencoba memberikan perhatian yang sama pada semua anak. Anak-anak pun memilih sendiri mau bersekolah atau kuliah di mana.

Saya lumayan "terhanyut" menikmati NKCTHI. Bahkan tanpa sadar beberapa kali saya meneteskan air mata ketika konflik ayah dan anak lagi dalam tensi tinggi. Saya tidak malu ketangkap basah oleh anak saya saat meneteskan air mata.

Memang, soal air mata, saya dari dulu lebih boros ketimbang istri saya, maksudnya saya lebih gampang terharu. Meskipun saya tahu, cerita film hanya rekaan semata.

Untung saja seusai menonton film, tak ada tudingan atau sindiran dari anak-anak saya terhadap cara saya selama ini memperlakukan mereka. 

Hanya saya sendiri sudah merasa dapat pelajaran banyak dari NKCTHI. Bahwa apa yang baik di mata orang tua, belum tentu ditangkap secara sama oleh anak.

Salah satu keuntungan bagi anak-anak saya setelah mereka berhasil mengajak saya nonton bareng, saya relatif lebih mudah mengizinkan anak-anak bila mereka ingin keluar rumah. Tak lagi banyak tanya, selain pesan agar selalu hati-hati.

Namun kalau perspektifnya dibalik, hari ini saya malah mengkhawatirkan cerita tentang nanti. Makanya saya tulis judul tulisan ini dengan HIKCTN.

Akankah tiga orang anak saya akan saling kompak terus sampai tua, sebagaimana yang kami lakukan (saya dan semua kakak beserta semua adik) sejak kami kecil sampai  sekarang, meskipun masing-masing sudah punya keluarga sendiri.

Saya tujuh bersaudara, tapi sekarang dua orang telah berpulang ke rahmatullah, sehingga tinggal berlima. Meski kami tinggal berbeda kota, yakni di Sumbar, Riau, dan saya sendiri di Jakarta, kami tetap sering berkumpul dan saling membantu. 

Bahkan kekompakan itu tidak sebatas dengan saudara kandung saja, tapi juga dengan saudara ipar, sepupu dan semua keponakan. Apalagi sejak ada media sosial, komunikasi kami semakin lancar.

Nah tentang anak-anak saya, sejauh ini, alhamdulillah, mereka juga relatif kompak. Mereka sering saling bercerita, saling membantu dalam mengerjakan tugas sekolah atau kuliah.

Saya tidak melihat ada anak yang iri terhadap saudaranya. Si sulung tidak keras terhadap adik-adiknya dan si bungsu juga tidak manja. 

Sayangnya, saya belum melihat kekompakan anak-anak saya dengan saudara sepupunya. Mereka bila bertemu, main cuek-cuekan saja, atau bersalaman ala kadarnya, tanpa ekspresi ingin berinteraksi.

Hari ini saya bercerita tentang masa nanti dengan anak-anak saya. Saya meminta mereka betul-betul dari hati kecilnya saling menyayangi yang terus dipelahara sampai kapanpun, termasuk saat nanti masing-masing sudah punya keluarga sendiri.

Kemudian, saya juga meminta mereka lebih mengenal anggota famili yang lain, seperti saudara sepupunya, baik dari pihak saya, maupun dari pihak istri saya. 

Jangan sampai dibeda-bedakan, dengan famili tertentu merasa akrab, dengan famili yang lain merasa asing. Jangan juga dibedakan berdasarkan status ekonomi, dekat dengan famili yang kaya dan suka memberi hadiah, lalu jauh dengan famili yang kurang beruntung.

Justru bila ada famili yang kurang beruntung, tanpa diminta, kita  harus punya inisiatif untuk memberikan bantuan, sekiranya ada rezeki.

Tak kalah pentingnya pula, saya mengharapkan semua anak saya untuk mampu bersosialisasi dengan baik, terhadap teman kerjanya kelak, terhadap tetangga, teman satu komunitas, atau dengan siapapun. 

Pendeknya harus menghargai orang lain, kalau kita juga ingin dihargai. Dan ini dilakukan dengan tidak membeda-bedakan teman berdasarkan suku, agama, atau status sosialnya.

Hari nanti memang sesuatu yang belum pasti, tapi kalau sebelumnya dirancang secara baik, mudah-mudahan nantinya sesuai dengan harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun