Kembali ke teman-teman sekolah saya, itulah salahnya, baru demam reuni setelah semua orang punya telepon pintar yang lengkap aplikasi media sosialnya.
Dulu bukannya tidak ada reuni, namun sifatnya lintas angkatan dan informasinya tidak merata ke semua alumni. Akibatnya itu tadi, yang betul-betul kangen-kangenan dengan teman satu angkatan, baru terwujud setelah puluhan tahun, yang akhirnya merusak imajinasi salah seorang teman.
Ikut reuni hanya pada pertama kali saja, lalu menghilang, menurut saya bukan pola silaturahmi yang baik. Apalagi kalau alasannya karena tidak rela imajinasinya yang dulu "dirusak".Â
Tapi reuni terus-terusan seperti teman saya yang disinggung di awal tulisan, namanya bukan reuni lagi. Ini terlalu boros waktu dan energi, dan bahkan bisa membosankan.
Saya percaya bahwa menjalin silaturahmi adalah penting, dan reuni merupakan salah satu wadah yang memudahkan untuk bersilaturahmi.
Tentang periode reuni yang terlalu sering atau terlalu jarang, bersifat relatif. Saya sendiri merasa sekali setahun sebagai waktu yang pas.
Tapi yang terpenting bukan sekadar melakukan reuni, ketawa-ketiwi, makan-makan, ajang pamer kesuksesan, atau rekreasi saja.
Menciptakan reuni yang ada nilai tambah dalam arti memberikan manfaat dan sekaligus sebagai sarana beramal, itulah yang perlu dilakukan, yang dengan cara bersama-sama akan menjadi kekuatan yang dahsyat.
Contohnya mengadakan reuni sambil juga melakukan bakti sosial, saling berbagi ilmu dan pengalaman, mengunjungi guru dan dosen yang dulu mengajar kita, membantu teman yang kemampuan ekonominya terbatas dengan cara yang tidak menyinggung perasaan, dan banyak lagi kegiatan bermanfaat lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H