Setiap memasuki pasar swalayan langganan saya di kawasan Jakarta Selatan, selalu saja saya disambut oleh beberapa orang yang membagikan brosur iklan. Ada yang menawarkan kredit mobil, kredit rumah, investasi kebun kurma, dan sebagainya.
Tapi saya menolak mengambil brosur itu dengan cara sesopan mungkin. Saya tersenyum, mengucapkan terima kasih, dengan gerak tangan yang memberikan kode "tidak".
Ya, saya tidak mau mengambil brosur karena akan menambah pekerjaan saya buat membuangnya ke tong sampah. Saya khawatir kalau saya membuang ke tong sampah yang ada di pasar swalayan itu, tentu akan menyinggung perasaan si pemberi brosur.
Namun kalau saya membawa brosur tersebut ke rumah, giliran tong sampah di rumah saya yang cepat penuh. Kalau saya tumpuk saja di suatu tempat karena merasa suatu waktu info di brosur tersebut mungkin diperlukan, akan memenuhi tempat saja, di samping nantinya akan dimakan rayap.
Toh kalau nanti saya betul-betul butuh informasi, tinggal berselancar di dunia maya saja. Jelaslah, meskipun terkadang saya merasa kasihan dengan tukang bagi brosur, tapi akhirnya saya memilih untuk jujur, bahwa saya tidak membutuhkannya.
Namun saya pernah dapat cerita dari seorang teman, kalau pun kita ambil brosur itu dan membuangnya ke tong sampah di depan mata petugas yang membagikannya, si petugas tidak akan tersinggung.
Menurut teman saya, si pembagi brosur sudah menduga bahwa hanya sekitar 1 atau 2 persen saja dari si penerima brosur yang akan menyimpannya dan berpotensi untuk membeli produk yang ditawarkan melalui brosur itu.
Bahkan kalau jam kerja si petugas sudah habis, padahal masih tersisa brosur di tangannya, brosur itu akan dibuang sendiri ke tong sampah oleh si petugas itu.
Soalnya si petugas harus segera melapor ke bosnya di kantor bahwa semua brosur telah habis dibagi kepada orang-orang yang ditemuinya.Â
Pertanyaannya, bila hanya 2 persen yang tertarik dengan brosur, kenapa masih banyak perusahaan yang setia mencetak brosur?
Nah bagi pemilik usaha, ada 1 dari 100 orang yang menerima brosur yang akan membeli produknya, itu sudah menyenangkan. Ongkos cetak brosur akan tertutupi dari laba penjualan.
Coba perhatikan di mal-mal, betapa banyak petugas membagikan menu makanan dari sebuah restoran yang ada di mal itu.
Rata-rata ibu-ibu suka mengoleksi brosur restoran. Memang saat menerima brosur, mereka sudah punya tujuan mau makan di mana.Â
Saya sendiri, karena seperti yang saya singgung di awal tulisan ini, tidak menyukai brosur, cenderung mengatakan penggunaan brosur sudah tidak efektif. Apalagi saya melihat sebagian brosur dicetak secara lux, dan ada yang terdiri dari beberapa lembar. Pasti biayanya lumayan mahal.
Menurut saya perlu kreativitas yang lebih tinggi dalam melakukan promosi, terutama untuk usaha menengah ke bawah dengan anggaran yang sangat terbatas. Iklan yang tidak terkesan sebagai iklan, namun seperti disusupkan dalam chatting di berbagai grup media sosial, rasanya akan lebih nendang.Â
Memang, saking banyaknya iklan, termasuk di media online yang membuat pembaca tidak nyaman, membuat sebagian orang alergi dengan iklan. Jadi, bagaimana membuat iklan yang tidak terkesan sebagai iklan? Itulah pekerjaan rumah bagi mereka yang bekerja di bidang periklanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H