Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berlibur Akhir Tahun di Penang, Kota Warisan Budaya Dunia

4 Januari 2020   00:08 Diperbarui: 4 Januari 2020   10:13 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Pinang, begitu nama pulau yang luasnya kira-kira seluas Pulau Batam ini. Namun  pulau yang terletak di sebelah utara Malaysia itu lebih dikenal dengan sebutan Penang. Sebagian orang melafalkannya dengan Pineng, mungkin terpengaruh dengan pelafalan dalam bahasa Inggris.

Jika mengacu pada peta yang dibuat di era penjajahan Inggris atas Malaya (nama Malaysia sebelum memperoleh kemerdekaan tahun 1957), nama kota yang tercantum di pulau tersebut hanyalah Georgetown.

Dok pribadi
Dok pribadi
Ternyata Georgetown adalah salah satu kawasan di Penang yang merupakan pusat bisnis, perkantoran dan pelabuhan laut. Dapat disimpulkan Georgetown sudah menjadi kawasan tersibuk sejak beberapa abad yang lalu, terbukti dari banyaknya gedung-gedung berarsitektur Eropa jadul.

Hebatnya, gedung-gedung tersebut masih terpelihara dengan baik sampai sekarang. Tak heran kalau UNESCO menganugerahi gelar heritage city bagi kawasan Georgetown, bukan Penang secara keseluruhan.

Melihat cantiknya gedung-gedung kuno itu, kawasan kota lama di Jakarta atau Semarang harusnya iri dengan Penang. Tapi walaupun terlambat, banyak kota di tanah air yang mulai menata kawasan tempat gedung-gedung atau rumah peninggalan Belanda berada.

Apartemen kelas bawah (dok pribadi)
Apartemen kelas bawah (dok pribadi)
Penang merupakan destinasi wisata yang populer di Malaysia. Tapi di samping wisatawan umum, banyak pula wisatawan dengan tujuan khusus asal Indonesia yang datang ke Penang, yakni untuk memeriksa kondisi kesehatan di salah satu rumah sakit di sana.

Ya, pemerintah Malaysia memang serius menggarap medical tourism dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang beragam, pelayanan yang baik, tarif yang relatif murah, dan promosi yang gencar.

Tapi saya dan keluarga sengaja memilih Penang sebagai destinasi liburan akhir tahun selama 3 hari, bukan untuk kesehatan. Semata-mata karena secara geografis dekat, dan kebetulan kota-kota utama di Malaysia seperti Kuala Lumpur, Malaka, Johor, dan Kuching di Sarawak, sudah beberapa kali saya kunjungi.

Pagoda di Kek Lok Si (dok pribadi)
Pagoda di Kek Lok Si (dok pribadi)
Minggu siang (29/12/2019) kami mendarat di Bandara Penang, setelah terbang selama 2 jam 30 menit dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kesan pertama, bandara di kota terbesar kedua di Malaysia setelah Kuala Lumpur ini, biasa-biasa saja. Tidak seluas dan sebersih Juanda, bandara kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya.

Tentu sangat jauh perbedaannya dengan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) yang amat luas dengan disain bercorak futuristik. Terminal bandara Penang lebih mirip bandara di kota-kota provinsi di Indonesia yang sudah direnovasi seperti di Makassar, Pekanbaru, Palembang, dan sebagainya.

Masjid terbesar di Penang (dok pribadi)
Masjid terbesar di Penang (dok pribadi)
Setelah makan Nasi Kandar dengan bumbu masakan mirip makanan India di sebuah tempat seperti pujasera di negara kita, objek wisata pertama yang kami kunjungi adalah vihara terbesar dan tertinggi di Penang yang bernama Kek Lok Si.

Patung besar di tempat paling tinggi menjadi tujuan utama pengunjung untuk berfoto, sekalian menikmati pemandangan Penang dari atas. Saya teringat dengan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali yang juga punya patung raksasa. 

Kek Lok Si dari bawah tidak terlihat istimewa. Kalau tidak ada fasilitas lift, kami tidak tertarik untuk naik. Jika di Genting Highland, objek wisata yang  juga jadi tempat judi terkenal di Malaysia, ada cable car, di sini ada lift besar berdinding kaca yang bergerak miring menanjak. Kemudian bersambung naik golf car, dan terakhir naik lift lagi, baru sampai di puncak.

Tanah berbukit dan medan yang sulit, ternyata dengan fasilitas transportasi modern punya nilai jual tinggi. Coba kalau Lembah Harau di kampung saya, Payakumbuh, Sumbar, punya lift seperti itu, akan lebih dahsyat.

Antre naik kereta kabel naik ke Bukit Bendera (dok pribadi)
Antre naik kereta kabel naik ke Bukit Bendera (dok pribadi)
Besok paginya kami berkesempatan berkunjung ke objek wisata yang paling ramai di Penang, yaitu Bukit Bendera atau disebut juga Penang Hill. Di ketinggian sekitar 800 meter ini hutannya terpelihara dengan baik dan dilengkapi dengan taman yang menawan tempat memandang ke sekeliling kawasan Pulau Pinang.

Dari tempat penjualan tiket dan berlanjut ke jalur naik kereta kabel Penang Hill Railway, antrean telah mengular panjang. Padahal saya sengaja memilih berkunjung di hari Senin, dengan harapan tidak parah antrenya. Butuh waktu 50 menit baru kami dapat naik kereta yang menanjak  tajam sejauh 2 km selama sekitar 5 menit untuk sampai di puncak.

Bukit Bendera mengingatkan saya pada The Peak di Hongkong, karena dari ketinggian Penang terlihat dipenuhi gedung jangkung dengan laut sebagai latar belakang. 

Yang istimewa terlihat jelas ada dua jembatan panjang yang menghubungkan Penang dengan Semenanjung Malaysia, yang masing-masingnya jauh lebih panjang ketimbang Jembatan Suramadu.

Tapi keindahan Penang jika bukan dilihat dari atas, masih kalah dari Surabaya, atau juga dari kota lain di Malaysia seperti Kuching dan Melaka. Ironisnya, sebagai pulau kecil, wisata pantai bukan menjadi destinasi wisata utama. Di Georgetown yang merupakan daerah pelabuhan, malah sibuk dengan proyek reklamasi. 

Jalur rel naik Bukit Bendera (dok pribadi)
Jalur rel naik Bukit Bendera (dok pribadi)
Setelah mengunjungi Bukit Bendera, kami makan siang di sebuah restoran yang menghidangkan masakan Thailand. Malam sebelumnya kami menikmati sea food khas oriental.

Perlu diketahui, etnis Melayu tidak begitu banyak terlihat di Penang. 70 persen penduduknya merupakan keturunan Tionghoa. Setelah itu baru keturunan India dan Melayu. 

Jangan heran bila wisatawan muslim tidak begitu gampang menemukan masjid. Kebetulan kami beruntung menemukan surau (mushala) di halaman apartemen kelas bawah dekat tempat kami makan siang. Rata-rata penghuni apartemen tersebut warga muslim keturunan India.

View dari Bukit Bendera (dok pribadi)
View dari Bukit Bendera (dok pribadi)
Boleh dikatakan mayoritas warga Penang tinggal di apartemen. Ada yang tipe sederhana, sedang, dan yang mewah. Kotanya relatif padat dengan ketersediaan lahan yang terbatas, makanya sulit menemukan rumah tapak. Lagipula kontur tanah yang berbukit, sebagian memang bukan untuk area pemukiman.

Penduduk Penang saat ini sekitar 1,8 juta jiwa, di luar warga negara asing yang bekerja di sana, baik pendatang resmi maupun gelap. Tentu kotanya terlihat sesak. Bandingkan dengan Batam dengan penduduk masih sekitar 1,2 juta jiwa.

Jembatan Penang ke daratan semenanjung Malaysia (dok pribadi)
Jembatan Penang ke daratan semenanjung Malaysia (dok pribadi)
Meskipun di luar agenda yang telah disepakati dengan seorang pengemudi yang mengantar kami berkunjung ke berbagai objek wisata, kami mendapat kesempatan buat menjajal  jembatan  panjang. 

Saat meninggalkan Penang, kami lewat "Jembatan 2" yang lebih belakangan dibangun, dan saat masuk kembali ke Penang, lewat "Jembatan 1".

Karena saya sudah beberapa kali menjajal jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura, serta juga jalan tol laut di Bali, sebetulnya jembatan di Penang tidak terlihat luar biasa. 

Keunggulannya hanya lebih lebar jalannya, dan saat masuk kembali di Georgetown, karena penuh gedung jangkung di pinggir laut, kembali mengingatkan saya dengan Hongkong.

Sebagai informasi, bila berada di ujung jembatan di sisi daratan Malaysia, jaraknya ke perbatasan  Thailand dengan mengambil belok kiri tinggal sekitar 3 jam perjalanan. Sedangkan ke arah kanan, butuh sekitar 4 jam untuk mencapai Kuala Lumpur.

View dari Jembatan 2 (dok pribadi)
View dari Jembatan 2 (dok pribadi)
Saat masuk kembali ke Penang setelah menempuh perjalanan sepanjang 2 jembatan plus belasan km di daratan semenanjung selama 40 menit, kami disambut kemacetan, meski tidak separah di Jakarta atau Bandung.

Jalan raya di pusat kota memang tidak begitu lebar. Trotoarnya juga berukuran biasa. Kemudian di sepanjang sisi kiri jalan disediakan sebagai tempat parkir resmi. 

Jumlah pengendara motor juga relatif banyak, meski tidak sesemrawut seperti di kota-kota besar di negara kita. Para pengendara sabar mengantre tanpa perlu membunyikan klakson.

Surau di dekat apartemen kelas bawah (dok pribadi)
Surau di dekat apartemen kelas bawah (dok pribadi)
Sekadar pengetahuan saja, plat nomor kendaraan terdiri tiga huruf plus empat digit angka. Tiga huruf dengan P di depan, artinya kendaraan asal Penang. Tapi terlihat pula beberapa mobil W yang berarti dari Kuala Lumpur. 

Perjalanan kami berlanjut ke Jetty Clan, sebuah kampung terapung mirip yang saya temukan di Bontang, Kalimantan Timur. Jalannya berupa gang berlantai papan. Di kiri kanannya banyak penjual cenderamata yang sekaligus untuk memberdayakan masyarakat setempat yang rata-rata adalah pedagang kecil.

Objek wisata berbasis warga kampung seperti itu juga mulai marak di negara kita, seperti di Pantai Kenjeran Surabaya atau di Bontang yang telah saya singgung di atas.

Street Food di Penang (dok pribadi)
Street Food di Penang (dok pribadi)
Tak jauh dari Jetty Clan, ada lagi kawasan yang ramai dikunjungi turis yakni Street Art. Sepanjang sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi toko-toko dengan corak bangunan kawasan pecinan tempo dulu. 

Di sini banyak terlihat hiasan mural dan ornamen yang menjadi spot untuk berfoto. Sebuah spot dengan latar belakang sepeda ontel menjadi favorit para turis.

Sepeda memang menjadi ikon pariwisata Penang. Mungkin dulunya Penang identik dengan kota sepeda, mirip Yogyakarta era jadul. Berbagai art shop dan  galeri lukisan terdapat di sini.

Jetty Clan (dok pribadi)
Jetty Clan (dok pribadi)
Penjual makanan di pinggir jalan juga gampang ditemukan di Penang, ada yang memakai truk kecil, ada yang memakai tenda. Tapi harga  makanan lebih mahal ketimbang di Indonesia. 

Saya minim es cendol di pinggir jalan, satu gelas dihargai 4 ringgit, atau sekitar Rp 15.000. Kalau di pinggir jalan di Jakarta dengan rasa yang lebih enak, hanya Rp 5.000. 

Perjalanan saya berlanjut menyusuri kawasan kota yang modern di Gurney. Sekadar ingin tahu saja, saya masuk ke mal terbaik di Penang, Gurney Plaza. Tapi soal mal, kita tidak kalah megah dengan Malaysia.

Ada yang menarik, bioskop  atau pawagam menurut istilah Malaysia, di plaza tersebut, salah satu layarnya menayangkan film Indonesia, Gundala. Memang film, sinetron dan musik Indonesia diterima dengan baik oleh publik Malaysia.

Spot foto di Jetty Clan (dok pribadi)
Spot foto di Jetty Clan (dok pribadi)
Banyak kedai serbaneka (minimarket) yang buka 24 jam di pusat kota. Saya yang ingin membeli buah-buahan masuk ke beberapa kedai serbaneka. Ternyata di sana tidak menjual buah segar. 

Namun saya melihat banyak juga produk mie dan biskuit yang diimpor dari Indonesia. Artinya produk kita sudah mampu bersaing.

Street Art (dok pribadi)
Street Art (dok pribadi)
Untuk transportasi masal, di Penang ada bus mirip Transjakarta tapi tanpa jalur khusus. Taksi tidak begitu banyak, biasanya mangkal di depan hotel. 

Banyak pula becak wisata yang mangkal dengan tarif 40 ringgit selama 30 menit. Saya tidak melihat ada MRT, LRT atau KRL seperti di Jakarta. Jalan tol dalam kota, termasuk arah ke bandara, juga tidak ada. Hanya jembatan panjang itu tadi yang berbayar.

Di malam hari, terlihat beberapa gelandangan yang tidur di emperan sebuah toko. Tapi secara umum, Penang adalah kota yang aman, termasuk saat tengah malam. 

Spot foto di Street Art (dok pribadi)
Spot foto di Street Art (dok pribadi)
Sewaktu di Gurney Plaza, saya sempat masuk toko buku terkenal di Malaysia, MPH, dan melihat media cetak, koran majalah dan tabloid Malaysia masih eksis dengan jumlah halaman yang tebal. Kios koran di pinggir jalan pun cukup banyak, tidak seperti di Jakarta saat ini. 

Temple di Penang (dok pribadi)
Temple di Penang (dok pribadi)
Sepanjang hari ketiga sebelum sorenya terbang kembali ke Jakarta, kami masih sempat mengunjungi beberapa objek wisata. Awalnya ke Fort Cornwallis, sebuah benteng luas peninggalan Inggris. 

Namun kami hanya mengambil foto sebagai latar belakang saja. Soalnya untuk masuk benteng harus membayar 20 ringgit per orang. Padahal menurut saya tidak seindah benteng peninggalan Inggris di Bengkulu atau benteng yang ada di Ternate.

Setelah itu kami menyusuri pelataran di sisi pantai, tak jauh dari benteng. Saya menikmati pemandangan gedung-gedung kuno di seberang jalan. 

Ada ratusan burung merpati yang juga menjadi objek foto di pelataran. Tapi menurut saya pelataran Pantai Losari Makassar masih lebih oke. 

Dok pribadi
Dok pribadi
Selanjutnya kami mengunjungi beberapa rumah ibadah yang dijadikan juga sebagai objek wisata, yakni Gereja St. George serta tempat ibadah pemeluk Budha asal Burma (Myanmar) dan asal Thailand yang saling berseberangan. Ada beberapa peminta-minta yang duduk di koridor tempat pengunjung lewat di tempat ibadah warga Burma.

Kesan saya, kehidupan warga Penang yang terdiri dari pemeluk berbagai agama, relatif rukun dan saling menghargai. Tak ada masalah dengan rumah ibadah yang saling berdekatan.

Membeli oleh-oleh menjadi kegiatan kami berikutnya. Kami membeli beberapa kotak kue sejenis bakpia. Jenis makanan, pelayanan dan layout toko oleh-oleh di Penang relatif sama dengan toko oleh-oleh terkenal di Bandung dan Malang.

Gedung kuno yang terawat baik (dok pribadi)
Gedung kuno yang terawat baik (dok pribadi)
Mengingat masih ada waktu sebelum ke Bandara, kami pun bergerak menuju Batu Feringgi, destinasi wisata pantai agak mirip Senggigi di Lombok, karena dari pusat kota jalannya menyusur pantai dengan posisi mendaki. Tapi tanpa ragu saya katakan Senggigi lebih bagus.

Banyak hotel dan resort di sini. Ada batu besar di pinggir pantai mirip yang banyak ditemui di Belitung. Siang itu bule yang berjemur sangat sedikit. Beberapa calo membujuk kami untuk naik banana boat.

Peninggalan Inggris (dok pribadi)
Peninggalan Inggris (dok pribadi)
Saat mencari tempat makan siang, ternyata sulit sekali mencari restoran Indonesia, tidak seperti di Kuala Lumpur. Restoran nasi lemak khas Malaysia akhirnya menjadi pilihan saya. 

Selama saya makan siang di tempat yang representatif itu, saya menikmati musik Sunda yang diputar pengelola restoran. Mungkin ia berasal dari Sunda. 

Benteng Cornwallis (dok pribadi)
Benteng Cornwallis (dok pribadi)
Sebelum makan siang saya sengaja minta pengemudi mengantarkan ke masjid terbesar di sana, semacam masjid agung di Indonesia.  

Berbeda dengan tempat ibadah agama lain yang sekaligus jadi objek wisata, di masjid ini tidak saya temukan para wisatawan. Di Jakarta, Masjid Istiqlal, untuk bagian tertentu terbuka bagi turis asal berpakaian sopan.

Gereja St George (dok pribadi)
Gereja St George (dok pribadi)
Kesimpulan saya, ramainya turis asing ke Malaysia ketimbang yang datang ke Indonesia, lebih karena keberhasilan promosi pemerintah dan pelaku bisnis pariwisata di sana.

Air Asia sebagai maskapai penerbangan berbiaya murah asal Malaysia yang terbang langsung ke berbagai kota di Indonesia, turut menjadi penunjang.

Pantai Batu Feringgi (dok pribadi)
Pantai Batu Feringgi (dok pribadi)
Tentu investasi yang besar untuk infrastruktur objek wisata yang memanjakan pengunjung seperti adanya lift khusus di Kek Lok Si dan kereta kabel di Bukit Bendera, juga jadi daya tarik.

Becak Wisata (dok pribadi)
Becak Wisata (dok pribadi)
Khusus untuk Penang, bagi saya yang paling menarik adalah memandang banyaknya gedung kuno bercorak Eropa atau China. 

Untuk yang lain, Indonesia masih mampu bersaing sepanjang dilengkapi fasilitas yang memudahkan pengunjung di objek wisata alam, serta infrastrukturnya diperbaiki. 

Mudah-mudahan makin banyak  turis Malaysia  yang datang ke Indonesia. Mereka akan merasakan bahwa standar pariwisata kita, terutama di destinasi unggulan, tak kalah dengan mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun