Pulau Pinang, begitu nama pulau yang luasnya kira-kira seluas Pulau Batam ini. Namun  pulau yang terletak di sebelah utara Malaysia itu lebih dikenal dengan sebutan Penang. Sebagian orang melafalkannya dengan Pineng, mungkin terpengaruh dengan pelafalan dalam bahasa Inggris.
Jika mengacu pada peta yang dibuat di era penjajahan Inggris atas Malaya (nama Malaysia sebelum memperoleh kemerdekaan tahun 1957), nama kota yang tercantum di pulau tersebut hanyalah Georgetown.
Hebatnya, gedung-gedung tersebut masih terpelihara dengan baik sampai sekarang. Tak heran kalau UNESCO menganugerahi gelar heritage city bagi kawasan Georgetown, bukan Penang secara keseluruhan.
Melihat cantiknya gedung-gedung kuno itu, kawasan kota lama di Jakarta atau Semarang harusnya iri dengan Penang. Tapi walaupun terlambat, banyak kota di tanah air yang mulai menata kawasan tempat gedung-gedung atau rumah peninggalan Belanda berada.
Ya, pemerintah Malaysia memang serius menggarap medical tourism dengan menyediakan fasilitas kesehatan yang beragam, pelayanan yang baik, tarif yang relatif murah, dan promosi yang gencar.
Tapi saya dan keluarga sengaja memilih Penang sebagai destinasi liburan akhir tahun selama 3 hari, bukan untuk kesehatan. Semata-mata karena secara geografis dekat, dan kebetulan kota-kota utama di Malaysia seperti Kuala Lumpur, Malaka, Johor, dan Kuching di Sarawak, sudah beberapa kali saya kunjungi.
Tentu sangat jauh perbedaannya dengan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) yang amat luas dengan disain bercorak futuristik. Terminal bandara Penang lebih mirip bandara di kota-kota provinsi di Indonesia yang sudah direnovasi seperti di Makassar, Pekanbaru, Palembang, dan sebagainya.
Patung besar di tempat paling tinggi menjadi tujuan utama pengunjung untuk berfoto, sekalian menikmati pemandangan Penang dari atas. Saya teringat dengan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali yang juga punya patung raksasa.Â
Kek Lok Si dari bawah tidak terlihat istimewa. Kalau tidak ada fasilitas lift, kami tidak tertarik untuk naik. Jika di Genting Highland, objek wisata yang  juga jadi tempat judi terkenal di Malaysia, ada cable car, di sini ada lift besar berdinding kaca yang bergerak miring menanjak. Kemudian bersambung naik golf car, dan terakhir naik lift lagi, baru sampai di puncak.
Tanah berbukit dan medan yang sulit, ternyata dengan fasilitas transportasi modern punya nilai jual tinggi. Coba kalau Lembah Harau di kampung saya, Payakumbuh, Sumbar, punya lift seperti itu, akan lebih dahsyat.
Dari tempat penjualan tiket dan berlanjut ke jalur naik kereta kabel Penang Hill Railway, antrean telah mengular panjang. Padahal saya sengaja memilih berkunjung di hari Senin, dengan harapan tidak parah antrenya. Butuh waktu 50 menit baru kami dapat naik kereta yang menanjak tajam sejauh 2 km selama sekitar 5 menit untuk sampai di puncak.
Bukit Bendera mengingatkan saya pada The Peak di Hongkong, karena dari ketinggian Penang terlihat dipenuhi gedung jangkung dengan laut sebagai latar belakang.Â
Yang istimewa terlihat jelas ada dua jembatan panjang yang menghubungkan Penang dengan Semenanjung Malaysia, yang masing-masingnya jauh lebih panjang ketimbang Jembatan Suramadu.
Tapi keindahan Penang jika bukan dilihat dari atas, masih kalah dari Surabaya, atau juga dari kota lain di Malaysia seperti Kuching dan Melaka. Ironisnya, sebagai pulau kecil, wisata pantai bukan menjadi destinasi wisata utama. Di Georgetown yang merupakan daerah pelabuhan, malah sibuk dengan proyek reklamasi.Â
Perlu diketahui, etnis Melayu tidak begitu banyak terlihat di Penang. 70 persen penduduknya merupakan keturunan Tionghoa. Setelah itu baru keturunan India dan Melayu.Â
Jangan heran bila wisatawan muslim tidak begitu gampang menemukan masjid. Kebetulan kami beruntung menemukan surau (mushala) di halaman apartemen kelas bawah dekat tempat kami makan siang. Rata-rata penghuni apartemen tersebut warga muslim keturunan India.
Penduduk Penang saat ini sekitar 1,8 juta jiwa, di luar warga negara asing yang bekerja di sana, baik pendatang resmi maupun gelap. Tentu kotanya terlihat sesak. Bandingkan dengan Batam dengan penduduk masih sekitar 1,2 juta jiwa.
Saat meninggalkan Penang, kami lewat "Jembatan 2" yang lebih belakangan dibangun, dan saat masuk kembali ke Penang, lewat "Jembatan 1".
Karena saya sudah beberapa kali menjajal jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura, serta juga jalan tol laut di Bali, sebetulnya jembatan di Penang tidak terlihat luar biasa.Â
Keunggulannya hanya lebih lebar jalannya, dan saat masuk kembali di Georgetown, karena penuh gedung jangkung di pinggir laut, kembali mengingatkan saya dengan Hongkong.
Sebagai informasi, bila berada di ujung jembatan di sisi daratan Malaysia, jaraknya ke perbatasan  Thailand dengan mengambil belok kiri tinggal sekitar 3 jam perjalanan. Sedangkan ke arah kanan, butuh sekitar 4 jam untuk mencapai Kuala Lumpur.
Jalan raya di pusat kota memang tidak begitu lebar. Trotoarnya juga berukuran biasa. Kemudian di sepanjang sisi kiri jalan disediakan sebagai tempat parkir resmi.Â
Jumlah pengendara motor juga relatif banyak, meski tidak sesemrawut seperti di kota-kota besar di negara kita. Para pengendara sabar mengantre tanpa perlu membunyikan klakson.
Perjalanan kami berlanjut ke Jetty Clan, sebuah kampung terapung mirip yang saya temukan di Bontang, Kalimantan Timur. Jalannya berupa gang berlantai papan. Di kiri kanannya banyak penjual cenderamata yang sekaligus untuk memberdayakan masyarakat setempat yang rata-rata adalah pedagang kecil.
Objek wisata berbasis warga kampung seperti itu juga mulai marak di negara kita, seperti di Pantai Kenjeran Surabaya atau di Bontang yang telah saya singgung di atas.
Di sini banyak terlihat hiasan mural dan ornamen yang menjadi spot untuk berfoto. Sebuah spot dengan latar belakang sepeda ontel menjadi favorit para turis.
Sepeda memang menjadi ikon pariwisata Penang. Mungkin dulunya Penang identik dengan kota sepeda, mirip Yogyakarta era jadul. Berbagai art shop dan  galeri lukisan terdapat di sini.
Saya minim es cendol di pinggir jalan, satu gelas dihargai 4 ringgit, atau sekitar Rp 15.000. Kalau di pinggir jalan di Jakarta dengan rasa yang lebih enak, hanya Rp 5.000.Â
Perjalanan saya berlanjut menyusuri kawasan kota yang modern di Gurney. Sekadar ingin tahu saja, saya masuk ke mal terbaik di Penang, Gurney Plaza. Tapi soal mal, kita tidak kalah megah dengan Malaysia.
Ada yang menarik, bioskop  atau pawagam menurut istilah Malaysia, di plaza tersebut, salah satu layarnya menayangkan film Indonesia, Gundala. Memang film, sinetron dan musik Indonesia diterima dengan baik oleh publik Malaysia.
Namun saya melihat banyak juga produk mie dan biskuit yang diimpor dari Indonesia. Artinya produk kita sudah mampu bersaing.
Banyak pula becak wisata yang mangkal dengan tarif 40 ringgit selama 30 menit. Saya tidak melihat ada MRT, LRT atau KRL seperti di Jakarta. Jalan tol dalam kota, termasuk arah ke bandara, juga tidak ada. Hanya jembatan panjang itu tadi yang berbayar.
Di malam hari, terlihat beberapa gelandangan yang tidur di emperan sebuah toko. Tapi secara umum, Penang adalah kota yang aman, termasuk saat tengah malam.Â
Namun kami hanya mengambil foto sebagai latar belakang saja. Soalnya untuk masuk benteng harus membayar 20 ringgit per orang. Padahal menurut saya tidak seindah benteng peninggalan Inggris di Bengkulu atau benteng yang ada di Ternate.
Setelah itu kami menyusuri pelataran di sisi pantai, tak jauh dari benteng. Saya menikmati pemandangan gedung-gedung kuno di seberang jalan.Â
Ada ratusan burung merpati yang juga menjadi objek foto di pelataran. Tapi menurut saya pelataran Pantai Losari Makassar masih lebih oke.Â
Kesan saya, kehidupan warga Penang yang terdiri dari pemeluk berbagai agama, relatif rukun dan saling menghargai. Tak ada masalah dengan rumah ibadah yang saling berdekatan.
Membeli oleh-oleh menjadi kegiatan kami berikutnya. Kami membeli beberapa kotak kue sejenis bakpia. Jenis makanan, pelayanan dan layout toko oleh-oleh di Penang relatif sama dengan toko oleh-oleh terkenal di Bandung dan Malang.
Banyak hotel dan resort di sini. Ada batu besar di pinggir pantai mirip yang banyak ditemui di Belitung. Siang itu bule yang berjemur sangat sedikit. Beberapa calo membujuk kami untuk naik banana boat.
Selama saya makan siang di tempat yang representatif itu, saya menikmati musik Sunda yang diputar pengelola restoran. Mungkin ia berasal dari Sunda.Â
Berbeda dengan tempat ibadah agama lain yang sekaligus jadi objek wisata, di masjid ini tidak saya temukan para wisatawan. Di Jakarta, Masjid Istiqlal, untuk bagian tertentu terbuka bagi turis asal berpakaian sopan.
Air Asia sebagai maskapai penerbangan berbiaya murah asal Malaysia yang terbang langsung ke berbagai kota di Indonesia, turut menjadi penunjang.
Untuk yang lain, Indonesia masih mampu bersaing sepanjang dilengkapi fasilitas yang memudahkan pengunjung di objek wisata alam, serta infrastrukturnya diperbaiki.Â
Mudah-mudahan makin banyak  turis Malaysia  yang datang ke Indonesia. Mereka akan merasakan bahwa standar pariwisata kita, terutama di destinasi unggulan, tak kalah dengan mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H