Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Target Kedatangan Turis Asing Tak Tercapai, WNI Banyak yang Liburan ke Luar Negeri

24 Januari 2020   08:09 Diperbarui: 24 Januari 2020   08:21 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu (29/12/2019) saya dan keluarga berangkat dari Jakarta ke Penang, Malaysia dalam rangka mengisi waktu liburan akhir tahun.

Saat melewati pos imigrasi bandara Soekarno-Hatta, barisan pemegang paspor Indonesia mengular panjang, dan hanya segelintir orang tanpa antre di jalur pemegang paspor asing.

Artinya turis asing yang pulang kembali ke negaranya amat sedikit, namun warga Indonesia yang mau ke luar negeri demikian banyak. 

Tentu mereka tidak hanya ke Penang seperti saya saja, karena ada beberapa penerbangan ke luar negeri pada jam yang berdekatan dengan keberangkatan saya. 

Begitu pula saat pulang ke Jakarta tiga hari kemudian, di pos imigrasi bandara Soekarno-Hatta, kembali didominasi oleh warga Indonesia yang baru kembali berlibur di luar negeri.

Kemudian, lagi-lagi sangat sedikit orang asing yang masuk ke negara kita. Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya, apakah target pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dalam mendatangkan 18 juta wisatawan asing sepanjang tahun 2019 lalu, belakangan direvisi menjadi 16,5 juta orang, dapat tercapai?

Meskipun data resmi sampai akhir Desember 2019 belum diungkapkan, bila melihat data hingga Oktober 2019 yang dicatat Kementerian Pariwisata, turis asing yang masuk baru 13,2 juta orang, besar kemungkinan target 2019 tidak tercapai.

Kebetulan saja saya baru pulang dari Malaysia, sehingga saya juga berpikir di mana  letaknya keunggulan pariwisata asing, khususnya negara jiran Malaysia yang seharusnya bisa kita ungguli.

Saya sendiri sudah cukup lama tidak ke luar negeri. Dulu, dengan memanfaatkan kunjungan dinas dari kantor tempat saya bekerja, saya sempat berkunjung ke berbagai negara. 

Tapi sejak 2017, kesempatan itu boleh dikatakan sudah tertutup. Sementara kalau mengeluarkan biaya sendiri, saya mengutamakan memilih destinasi domestik dalam memanfaatkan masa liburan, meskipun terkadang biayanya juga relatif mahal.

Maka saya pernah menghabiskan liburan akhir tahun di Labuan Bajo sebagai tempat untuk menyeberang ke Pulau Komodo. Pernah juga ke Lombok dan Aceh.

Tapi kali ini karena "kasihan" melihat halaman paspor yang sudah lama kosong, rindu dengan stempel imigrasi negara asing, maka jadilah saya ke Penang.

Tentang kisah saya di  Penang, silakan baca di sini. Jelas dengan yakin saya menulis bahwa destinasi wisata Indonesia masih unggul ketimbang Malaysia. Namun kita kalah pada fasilitas dan juga kalah dalam anggaran promosi.

Majalah Tempo, edisi 5 Januari 2020, menulis tentang keterceceran kita di bidang pariwisata. Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, nilai ekspor jasa pariwisata kita jauh tertinggal. 

Dua tahun lalu, total ekspor jasa pariwisata kita mencapai US$ 13,7 miliar, sementara pada tahun yang sama Thailand memperoleh US$ 51,1 miliar, disusul Malaysia US$ 20,8 miliar dan Singapura US$ 19,5 miliar.

Kenapa kita tertinggal jauh? Karena sejumlah pekerjaan rumah pemerintah belum rampung, khususnya yang berkaitan dengan keamanan, kenyamanan,  kebersihan, dan kesehatan bagi turis asing.

Termasuk pula soal infrastruktur penunjang seperti pelabuhan laut dan bandara, serta kelestarian lingkungan, masih menjadi pekerjaan rumah. Apalagi dengan sering terjadinya bencana alam, membuat sejumlah kedutaan asing di Jakarta, mengeluarkan peringatan bagi warganya yang ingin ke Indonesia.

Dampak kenaikan harga tiket pesawat pada rute domestik ikut pula menurunkan minat wisatawan asing. Soalnya banyak wisatawan asing yang pintu masuknya di Jakarta atau Bali, berencana untuk terbang ke sejumlah destinasi wisata di berbagai penjuru tanah air.

Justru karena tarif untuk rute ke luar negeri tidak naik, malah menyedot turis lokal untuk bepergian ke luar negeri. Itulah yang terlihat di mata saya di pos imigrasi bandara Soekarno-Hatta yang telah disinggung di awal tulisan ini.

Dikutip dari Majalah Tempo di atas, jumlah turis Malaysia yang datang ke Indonesia hanya 2,58 juta orang sepanjang Januari hingga Oktober 2019. Sedangkan jumlah warga negara Indonesia yang berplesir ke Malaysia justru mencapai 3,2 juta orang. 

Jika potret hubungan pariwisata Indonesia-Malaysia di atas berlangsung terus seperti itu dengan "ketekoran" di pihak Indonesia, maka tentu devisa keluar lebih banyak ketimbang devisa masuk.

Tak ada jalan lain, untuk tahun 2020, beberapa pekerjaan rumah di atas harus dapat dituntaskan. Tak kalah pentingnya pula bagaimana semua pihak terkait dapat duduk bersama membahas upaya penurunan tarif pesawat rute domestik.

Sektor pariwisata adalah sektor yang sangat diharapkan sebagai penyumbang devisa, selain dari hasil ekspor produk dan jasa. Semoga Wishnutama sebagai komandan baru di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mampu menjawab tantangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun