Tapi kali ini karena "kasihan" melihat halaman paspor yang sudah lama kosong, rindu dengan stempel imigrasi negara asing, maka jadilah saya ke Penang.
Tentang kisah saya di  Penang, silakan baca di sini. Jelas dengan yakin saya menulis bahwa destinasi wisata Indonesia masih unggul ketimbang Malaysia. Namun kita kalah pada fasilitas dan juga kalah dalam anggaran promosi.
Majalah Tempo, edisi 5 Januari 2020, menulis tentang keterceceran kita di bidang pariwisata. Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, nilai ekspor jasa pariwisata kita jauh tertinggal.Â
Dua tahun lalu, total ekspor jasa pariwisata kita mencapai US$ 13,7 miliar, sementara pada tahun yang sama Thailand memperoleh US$ 51,1 miliar, disusul Malaysia US$ 20,8 miliar dan Singapura US$ 19,5 miliar.
Kenapa kita tertinggal jauh? Karena sejumlah pekerjaan rumah pemerintah belum rampung, khususnya yang berkaitan dengan keamanan, kenyamanan, Â kebersihan, dan kesehatan bagi turis asing.
Termasuk pula soal infrastruktur penunjang seperti pelabuhan laut dan bandara, serta kelestarian lingkungan, masih menjadi pekerjaan rumah. Apalagi dengan sering terjadinya bencana alam, membuat sejumlah kedutaan asing di Jakarta, mengeluarkan peringatan bagi warganya yang ingin ke Indonesia.
Dampak kenaikan harga tiket pesawat pada rute domestik ikut pula menurunkan minat wisatawan asing. Soalnya banyak wisatawan asing yang pintu masuknya di Jakarta atau Bali, berencana untuk terbang ke sejumlah destinasi wisata di berbagai penjuru tanah air.
Justru karena tarif untuk rute ke luar negeri tidak naik, malah menyedot turis lokal untuk bepergian ke luar negeri. Itulah yang terlihat di mata saya di pos imigrasi bandara Soekarno-Hatta yang telah disinggung di awal tulisan ini.
Dikutip dari Majalah Tempo di atas, jumlah turis Malaysia yang datang ke Indonesia hanya 2,58 juta orang sepanjang Januari hingga Oktober 2019. Sedangkan jumlah warga negara Indonesia yang berplesir ke Malaysia justru mencapai 3,2 juta orang.Â
Jika potret hubungan pariwisata Indonesia-Malaysia di atas berlangsung terus seperti itu dengan "ketekoran" di pihak Indonesia, maka tentu devisa keluar lebih banyak ketimbang devisa masuk.
Tak ada jalan lain, untuk tahun 2020, beberapa pekerjaan rumah di atas harus dapat dituntaskan. Tak kalah pentingnya pula bagaimana semua pihak terkait dapat duduk bersama membahas upaya penurunan tarif pesawat rute domestik.