Bagi yang suka menonton acara gosip artis di layar kaca, tentu tahu bahwa saat ini ada perseteruan antara penyanyi dangdut Iis Dahlia dengan para pengemudi ojek online (ojol).
Masalahnya mungkin soal "selip lidah" yang terlontar dari mulut sang penyanyi dangdut itu. Kebetulan suami Iis adalah seorang pilot di maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
Ketika heboh-heboh kasus penyelundupan motor gede Harley Davidson yang melibatkan Direktur Utama Garuda saat itu, yang bertindak sebagai pilot adalah suami Iis.
Nah, merespon tudingan seorang warganet yang menyebutkan si pilot menerima tip yang besar, Iis pun meradang. Selengkapnya komentar Iis yang dimuat kompas.com (24/12/2019) seperti ini; "Eh loe pikir, laki gue itu pilot, bukan supir ojol. Kalau sudah selesai ngambil penumpang, minta bintang terus ada yang berbaik hati penumpangnya kasih tip. Enggak kayak gitu".
Sekilas tampak pernyataan Iis biasa-biasa saja. Tapi pengemudi ojol yang kritis dan merasa tidak pernah minta bintang dan tip dari penumpangnya, tentu tersinggung. Rasanya membandingkan pilot dengan pengemudi ojol tidak apple to apple.
Maka beberapa hari yang lalu, para pengemudi ojol pun ramai-ramai mendatangi kediaman Iis di kawasan Jakarta Selatan. Sayangnya sang pedangdut sedang tidak di rumah.
Oke, begitu saja tentang kasus Iis Dahlia. Silakan masing-masing pembaca menafsirkan sendiri siapa yang salah. Toh, saya pikir, kasus ini akan berlalu begitu saja.
Namun tentang budaya meberi tip, pasti banyak yang mengalaminya. Berikut ini adalah pengalaman saya dalam soal budaya memberi tip atau pembayaran ekstra bagi para pengemudi yang jasanya saya gunakan.
Yang pasti, seumur-umur meskipun cukup sering naik pesawat, saya belum pernah memberi tip kepada pilot atau kru pesawat lain. Tahu sendiri kan, sebesar apa gaji pilot?
Sewaktu lama mengabdi di sebuah badan usaha milik negara, kalau ada tugas keluar kantor, saya diantar oleh kendaraan operasional, tentu berikut dengan supirnya.
Meskipun si supir sudah mendapat gaji bulanan dari kantor dan bahkan ada imbauan untuk tidak memberi tip, kebiasaan saya untuk memberi "uang ngopi" setelah si supir selesai mengantar saya kembali ke kantor, rutin saya lakukan.
Kemudian kalau naik taksi, jika misalnya argometernya menunjukkan angka Rp 44.320, saya akan membayar dengan selembar uang pecahan Rp 50.000. Ada pengemudi yang memberi uang kembalian Rp 5.000, namun saya tolak. Itu saya anggap sebagai tip.
Demikian juga sejak maraknya pemesanan taksi online, termasuk juga ojol, saya memakai sistem pembulatan ke atas seperti yang saya lakukan terhadap taksi konvensional.
Yang saya agak kesal adalah bila supir taksi terang-terangan meminta tip. Atau ada juga yang pakai taktik "memancing" dengan mengajak ngobrol sepanjang perjalanan.Â
Dalam hal ini si pengemudi mendominasi obrolan dengan topik kesulitan keuangan yang dihadapinya dan betapa tak mencukupi penghasilannya dari mengemudi taksi.
Jika naik bajaj atau ojek motor konvensional, saya memang tidak memberi tip. Soalnya untuk moda transportasi ini sudah dilakukan tawar menawar di depan, dan saya bukan tipe yang ngotot dalam menawar.
Ada pakar yang berpendapat budaya meminta dan memberi tip termasuk bagian dari budaya korupsi di negara kita. Itu makanya kenapa praktik korupsi amat sulit dibasmi.
Namun saya punya pendapat lain, memberi tip kepada pengemudi yang dugaan saya taraf kehidupannya masih relatif belum baik, sah-sah saja. Hitung-hitung anggap saja memberikan bantuan dan mudah-mudahan menjadi amal.
Adapun bila memberi tip kepada aparat pemerintah, apalagi pakai tarif tertentu tanpa tanda terima yang termasuk pungutan liar, jelas tindakan yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H