Sebelum masuk tol layang di km 5 saya sudah bertemu kemacetan, namun 1 km menjelang tol layang, kembali lancar. Maka dengan yakin, saya pun naik tol layang di gerbangnya di km 9. Saat itu jam menunjukkan angka 08.29.
Maka drama "horor" itu pun dimulai. Saya memaklumi, banyak pengguna jalan yang berbondong-bondong masuk tol layang karena terlanda euforia, penasaran bagaimana rasanya melayang sejauh 39 km.Â
Akhirnya bahu jalan yang harusnya untuk jalur darurat, disesaki kendaraan juga. Harusnya ada running text elektronik yang mengumumkan kondisi padat tidaknya jalan tol layang 1 km sebelum gerbang masuk.Â
Atau bisa jadi pengumuman itu ada, tapi luput dari perhatian saya dan orang lain yang tak sabar ingin menikmati jalan tol layang.
Kemudian terjadi stuck yang relatif lama di km 19. Jalan sedikit, stuck lagi. Akhirnya salah satu sumber kemacetan terlihat di km 31. Ada kendaraan yang pecah bannya dan sedang menepi di jalur darurat dibantu oleh petugas jalan tol.Â
Ada pula pengendara yang berhenti di jalur darurat karena buang air kecil di balik ban belakang sebelah kiri. Inilah dampaknya tidak adanya rest area.
Setelah itu perjalanan agak lancar. Tapi mulai km 34 macetnya makin menjadi-jadi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sumpah serapah pengguna tol layang, kalau nanti sudah membayar mahal, tapi bertemu macet parah seperti ini.
Tentu keberadaan pos pembayaran di jalan tol layang, juga akan menambah kemacetan. Menurut saya, kalau sama-sama macet, lebih baik macet di tol bawah, karena lebih lebar jalannya dan ada rest area. Tidak gampang menahan buang air berjam-jam dan bahkan bisa mendatangkan penyakit.Â
Jalan tol layang yang normalnya untuk dua mobil berjejer dipaksa jadi memuat empat mobil sejajar, karena bahu jalan dipakai dan satu jalur buat mobil pejabat itu tadi. Kaca spion antar mobil pun hampir bersenggolan.