Akan berbeda masalahnya bila sebuah bank konvensional yang punya kantor cabang di Aceh belum mempunyai anak perusahaan yang beroperasi secara syariah.Â
Mau tak mau dalam masa transisi yang sebetulnya tidak terlalu lama ini, bank seperti ini harus membentuk anak perusahaan terlebih dahulu.
Tentu tahapan yang dilalui akan lebih rumit. Mungkin caranya dengan melakukan spin-off, di mana seluruh kantor cabang bank tersebut di Aceh dipisahkan dari aset induk perusahaannya, dan menjadi aset anak perusahaan hasil spin-off.
Terlepas dari soal teknis perbankan, tentu yang paling penting adalah mengkaji apa dampaknya bagi nasabah?Â
Nasabah seperti tak punya pilihan lain, harus mengkonversi rekening yang dipunyainya, baik berupa rekening simpanan maupun rekening pinjaman, menjadi rekening berbasis syariah.
Tapi mungkin saja ada segelintir nasabah yang tidak mau menjadi nasabah bank syariah. Toh pilihan nasabah harus dihargai.Â
Untuk itu diharapkan bank tempat nasabah membuka rekening, bisa mencarikan solusi yang dapat diterima nasabah.
Contohnya dengan memindahkan rekening nasabah ke kantor cabang bank yang sama di kota terdekat dari Aceh, misalnya ke Medan. Kalau nasabah tetap tidak mau, tentu harus menutup rekeningnya.
Jika yang ditutup adalah rekening simpanan, tidak jadi masalah, nasabah bisa mencairkan simpanannya. Tapi kalau menutup rekening pinjaman, artinya si nasabah harus melunasi semua utangnya, ini yang berat.
Makanya, sosialisasi dari masing-masing bank di Aceh kepada semua nasabahnya sangat penting selama masa transisi ini. Perlu kiranya untuk diketahui, bank syariah sebetulnya tidak hanya melayani nasabah muslim saja.
Kenyataannya seperti yang terjadi di Inggris, karena dinilai menguntungkan, banyak pula nasabah non-muslim yang membuka rekening di bank syariah. Demikian pula karyawan banknya, tidak semuanya muslim.