Jalan tol layang Jakarta-Cikampek merupakan tol dalam tol. Untuk menikmatinya, kita harus masuk tol Jakarta-Cikampek di jalur bawah terlebih dahulu. Makanya tol layang ini disebut juga dengan Tol Japek II (Jakarta-Ciakmpek II), dengan anggapan Tol Japek I untuk yang di bawah. Namun untuk tulisan ini saya menggunakan istilah tol layang.
Saya berkesempatan menjajal tol layang Senin siang (16/12/2019) lalu. Selama ini jalan layang terpanjang di dalam negeri yang pernah saya lewati adalah di dua jalur non-tol di Jakarta, yakni jalan Antasari dari Blok M ke Jalan Simatupang dan di Jalan Kasablanka ke arah Karet. Panjangnya masing-masing sekitar 7 km dan 5 km.
Ketika itu waktu tempuh yang harusnya hanya sekitar 3 jam, bisa molor jadi 6-7 jam gara-gara pembangunan proyek tol layang tersebut. Kemacetan parah sekali terjadi sepanjang km 10 sampai 50, dengan puncaknya di sekitar gerbang pembayaran tol di Cikarang yang berada di km 29.
Untungnya sejak setahun terakhir ini, anak saya sudah terbiasa naik bus. Tak perlu lagi diantar jemput setiap dua minggu, sehingga penderitaan saya menempuh kemacetan sudah jauh berkurang.
Dengan aura balas dendam itulah saya ingin menikmati sepuasnya tol layang yang baru diresmikan Presiden Jokowi 15 Desember 2019 lalu, dan untuk sementara masih gratis.
Saya berbagi tugas dengan seorang teman. Saya kebagian yang enak-enak yaitu melihat pemandangan sepanjang perjalanan, makanya judul tulisan ini sengaja saya tonjolkan tentang apa yang bisa dipandang.Â
Mohon maaf kalau belasan foto yang saya pampangkan di sini, meskipun itu sudah pilihan dari puluhan yang saya jepret, tidak terlihat terang. Memang saat tersebut relatif mendung, bahkan turun gerimis saat pulang ke Jakarta.Â
Alasan lain yang sebetulnya malu saya tulis, kamera hape saya adalah jenis murahan dan kemampuan teknis fotografi saya juga masih cetek.
Mungkin banyak yang berpikiran bahwa soal pemandangan, bukan hal utama. Toh sama saja dengan yang dilihat dari jalur bawah. Yang penting berapa lama waktu yang bisa dihemat dengan menggunakan tol layang.
Tapi sudah jadi kebiasaan saya untuk memandang apa saja di balik kaca mobil setiap saya bepergian. Menurut saya, memandang dari ketinggian rata-rata jalan tol layang yang sekitar 15 meter, tentu pandangan mata lebih luas jangkauannya dan juga lebih syahdu.
Area persawahan banyak yang bersalin rupa jadi pabrik, yang ditandai banyaknya bangunan dengan cerobong asap di bagian atapnya. Ada pula beberapa pabrik perakitan mobil.
Bahkan di sisi kanan jalan kalau dari Jakarta ada lahan sangat luas tempat tersusun rapinya banyak sekali mobil baru. Saya tidak bisa menaksir jumlah mobil, tapi luas lahannya mungkin dua kali lapangan sepak bola.
Pemandangan lain yang menonjol adalah kesibukan pembangunan jalur LRT (light rail transit atau kereta layang ringan) dari Jakarta ke Cikarang dan sebaliknya. Beberapa stasiun LRT telah berdiri kerangkanya.Â
Saya tidak tahu apakah harus memberikan pujian atau justru prihatin dengan menciutnya lahan pertanian dalam jumlah yang amat luas itu. Biarlah para ahli yang menjawabnya.
Di beberapa tempat terdapat lahan yang telah dibebaskan, namun tidak terlihat aktivitas pembangunan. Hal ini bisa dinilai mubazir kalau dibiarkan menganggur sekian lama.
Tapi begitu berada di tol layang, kendaraan relatif tidak padat. Kendaraan ukuran besar memang tidak dibolehkan masuk tol layang, ini yang membuat nyaman bagi pengendara kendaraan pribadi.Â
Dari sisi lebar jalan, termasuk lumayan. Hanya ada tiga jalur, yakni jalur darurat, jalur normal, dan jalur untuk mendahului kendaraan lain. Tol layang lebih lebar ketimbang jalan layang non-tol Antasari dan Kasablanka yang tidak punya jalur darurat.
Meskipun hanya dibolehkan memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum 80 km per jam, kenyataannya banyak yang tergoda, atau barangkali tidak menyadari, menggeber laju mobil sampai 100 km per jam.
Pengakuan teman saya yang menyetir mobil, ia tidak sadar saat jarum penunjuk kecepatan di dashboard sudah menyentuh angka 100. Untung saya melihat dan meminta ia mengurangi kecepatan.
Untung saja tindakan terlarang itu dilakukan saat tidak ada mobil patroli lewat. Padahal beberapa km setelah itu ada sebuah mobil patroli berjalan pelan di jalur darurat.
Ada pula mobil yang mogok, bukan satu, tapi tiga buah mobil. Saat berangkat ada satu mobil yang pengemudinya terlihat berada di luar mobil sedang berbicara menggunakan telpon genggam. Mungkin menghubungi nomor pengaduan layanan jalan tol.
Sedangkan saat kembali ke Jakarta, ada dua mobil yang mogok. Yang satu terlihat kap mesin mobil lagi terbuka. Tampaknya pengemudi sedang mencari penyebab mogok. Satu mobil lagi para penumpangnya berdiri di pinggir mobil, mungkin sambil menunggu mobil derek.
Artinya untuk jarak sejauh 39 km itu, kami membutuhkan waktu 33 menit. Jelas suatu penghematan yang signifikan dibandingkan pengalaman saya dulu terjebak berjam-jam di jalur yang sama tapi di bagian bawahnya.
Dugaan saya tarif tol layang akan lebih mahal dari Rp 12.000. Saya tidak tahu rumus yang digunakan pemerintah dalam menghitung tarif tol. Yang jelas semakin baru jalan tolnya, semakin mahal tarifnya, karena berkaitan dengan biaya konstruksi yang semakin meningkat.
Mengacu pada tarif di beberapa ruas Tol Trans Jawa, dengan matematika sederhana saya menemukan tarif sekitar Rp 1.000 per km.Â
Tapi tidak berarti tarif tol layang sejauh 39 km akan menjadi Rp 39.000. Perkiraan saya tarifnya berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000.
Setelah itu saya kembali ke Jakarta. Tepat jam 14.30, saya sudah kembali masuk tol layang di km 48. Sama dengan saat berangkat, kendaraan dapat dipacu dengan kecepatan maksimum yang diperkenankan.Â
Jam 15.01, atau hanya menempuh perjalanan selama 31 menit, lebih cepat 2 menit ketimbang saat berangkat, saya pun keluar tol layang di km 9 yang termasuk kawasan Cikunir.
Jadi, urusan bahan bakar dan kondisi kendaraan harus dipastikan sudah oke sebelum menjajalnya. Jangan sampai mogok seperti beberapa kendaraan yang saya lihat.
Ada delapan titik yang bisa dilakukan untuk berbalik arah jika kondisi darurat. Tapi kondisinya dipasangi penghalang. Mungkin bila dipandu oleh petugas, penghalang ini bisa dibuka.
Padahal ia cukup tidur malam sebelumnya. Makanya ia memberi alasan kondisi jalan yang lurus, lancar, dan sedikit terayun-ayun karena efek jalan yang bergelombang, menjadi penyebab munculnya rasa kantuk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI