Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sepanjang Jalan Tol Layang Japek II, Apa yang Bisa Dipandang?

20 Desember 2019   11:15 Diperbarui: 20 Desember 2019   15:25 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padat menjelang masuk tol layang di km 48 (dok pribadi)

Jalan tol layang Jakarta-Cikampek merupakan tol dalam tol. Untuk menikmatinya, kita harus masuk tol Jakarta-Cikampek di jalur bawah terlebih dahulu. Makanya tol layang ini disebut juga dengan Tol Japek II (Jakarta-Ciakmpek II), dengan anggapan Tol Japek I untuk yang di bawah. Namun untuk tulisan ini saya menggunakan istilah tol layang.

Saya berkesempatan menjajal tol layang Senin siang (16/12/2019) lalu. Selama ini jalan layang terpanjang di dalam negeri yang pernah saya lewati adalah di dua jalur non-tol di Jakarta, yakni jalan Antasari dari Blok M ke Jalan Simatupang dan di Jalan Kasablanka ke arah Karet. Panjangnya masing-masing sekitar 7 km dan 5 km.

Titik awal tol layang di km 9 (dok pribadi)
Titik awal tol layang di km 9 (dok pribadi)
Ada aura balas dendam sewaktu saya melewati tol layang itu. Selama tahun 2018 saya relatif sering bolak-balik Jakarta-Jatinangor karena mengantar atau menjemput anak perempuan saya yang kost di sana, karena kuliah di Universitas Padjadjaran. 

Ketika itu waktu tempuh yang harusnya hanya sekitar 3 jam, bisa molor jadi 6-7 jam gara-gara pembangunan proyek tol layang tersebut. Kemacetan parah sekali terjadi sepanjang km 10 sampai 50, dengan puncaknya di sekitar gerbang pembayaran tol di Cikarang yang berada di km 29.

Untungnya sejak setahun terakhir ini, anak saya sudah terbiasa naik bus.  Tak perlu lagi diantar jemput setiap dua minggu, sehingga penderitaan saya menempuh kemacetan sudah jauh berkurang.

Dengan aura balas dendam itulah saya ingin menikmati sepuasnya tol layang yang baru diresmikan Presiden Jokowi 15 Desember 2019 lalu, dan untuk sementara masih gratis.

Saya berbagi tugas dengan seorang teman. Saya kebagian yang enak-enak yaitu melihat pemandangan sepanjang perjalanan, makanya judul tulisan ini sengaja saya tonjolkan tentang apa yang bisa dipandang. 

Proyek LRT (dok pribadi)
Proyek LRT (dok pribadi)
Teman saya bertindak sebagai pengemudi, makanya sebagai bonus saya akan paparkan kesan teman saya itu dari sisi kursi kemudi. 

Mohon maaf kalau belasan foto yang saya pampangkan di sini, meskipun itu sudah pilihan dari puluhan yang saya jepret, tidak terlihat terang. Memang saat tersebut relatif mendung, bahkan turun gerimis saat pulang ke Jakarta. 

Alasan lain yang sebetulnya malu saya tulis, kamera hape saya adalah jenis murahan dan kemampuan teknis fotografi saya juga masih cetek.

Sawah yang menciut (dok pribadi)
Sawah yang menciut (dok pribadi)
Sekarang sudah mendekati libur natal dan tahun baru. Dugaan saya akan banyak orang yang penasaran ingin menjajal jalan tol layang, terutama bagi yang merencanakan bepergian melewati jalur Pantura.

Mungkin banyak yang berpikiran bahwa soal pemandangan, bukan hal utama. Toh sama saja dengan yang dilihat dari jalur bawah. Yang penting berapa lama waktu yang bisa dihemat dengan menggunakan tol layang.

Dok pribadi
Dok pribadi
Saya setuju bahwa yang penting adalah soal penghematan waktu yang pasti berdampak pada penghematan biaya bahan bakar kendaraan.

Tapi sudah jadi kebiasaan saya untuk memandang apa saja di balik kaca mobil setiap saya bepergian. Menurut saya, memandang dari ketinggian rata-rata jalan tol layang yang sekitar 15 meter, tentu pandangan mata lebih luas jangkauannya dan juga lebih syahdu.

U turn untuk darurat (dok pribadi)
U turn untuk darurat (dok pribadi)
Hal pertama yang terlintas di benak saya ketika melihat sisi kiri dan kanan jalan adalah betapa makin menciutnya lahan pertanian di jalur Bekasi-Karawang yang dulunya termasuk lumbung padi Jawa Barat.

Area persawahan banyak yang bersalin rupa jadi pabrik, yang ditandai banyaknya bangunan dengan cerobong asap di bagian atapnya. Ada pula beberapa pabrik perakitan mobil.

Bahkan di sisi kanan jalan kalau dari Jakarta ada lahan sangat luas tempat tersusun rapinya banyak sekali mobil baru. Saya tidak bisa menaksir jumlah mobil, tapi luas lahannya mungkin dua kali lapangan sepak bola.

Proyek LRT (Dok pribadi)
Proyek LRT (Dok pribadi)
Selain pabrik, apartemen berupa gedung jangkung juga banyak di kedua sisi jalan. Sebuah kota baru yang dinamakan Meikarta, dulu iklannya sangat gencar, kelihatannya lagi terhenti proyeknya. Namun beberapa blok apartemen di Meikarta telah terlihat sosoknya.

Pemandangan lain yang menonjol adalah kesibukan pembangunan jalur LRT (light rail transit atau kereta layang ringan) dari Jakarta ke Cikarang dan sebaliknya. Beberapa stasiun LRT telah berdiri kerangkanya. 

Saya tidak tahu apakah harus memberikan pujian atau justru prihatin dengan menciutnya lahan pertanian dalam jumlah yang amat luas itu. Biarlah para ahli yang menjawabnya.

Di beberapa tempat terdapat lahan yang telah dibebaskan, namun tidak terlihat aktivitas pembangunan. Hal ini bisa dinilai mubazir kalau dibiarkan menganggur sekian lama.

Mobil patroli (Dok pribadi)
Mobil patroli (Dok pribadi)
Memandangi kendaraan yang melewati tol juga mengasyikkan. Sebelum naik tol layang dan juga saat baru turun dari tol layang, akan terlihat padatnya kendaraan berbadan besar seperti truk dan bus. 

Tapi begitu berada di tol layang, kendaraan relatif tidak padat. Kendaraan ukuran besar memang tidak dibolehkan masuk tol layang, ini yang membuat nyaman bagi pengendara kendaraan pribadi. 

Dari sisi lebar jalan, termasuk lumayan. Hanya ada tiga jalur, yakni jalur darurat, jalur normal, dan jalur untuk mendahului kendaraan lain. Tol layang lebih lebar ketimbang jalan layang non-tol Antasari dan Kasablanka yang tidak punya jalur darurat.

Meskipun hanya dibolehkan memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum 80 km per jam, kenyataannya banyak yang tergoda, atau barangkali tidak menyadari, menggeber laju mobil sampai 100 km per jam.

Pengakuan teman saya yang menyetir mobil, ia tidak sadar saat jarum penunjuk kecepatan di dashboard sudah menyentuh angka 100. Untung saya melihat dan meminta ia mengurangi kecepatan.

Cerobong asap pabrik (dok pribadi)
Cerobong asap pabrik (dok pribadi)
Apa lagi yang saya lihat? Ada pengemudi yang nekad memarkir mobil di jalur darurat . Tampaknya si sopir menyempatkan diri untuk berfoto. 

Untung saja tindakan terlarang itu dilakukan saat tidak ada mobil patroli lewat. Padahal beberapa km setelah itu ada sebuah mobil patroli berjalan pelan di jalur darurat.

Ada pula mobil yang mogok, bukan satu, tapi tiga buah mobil. Saat berangkat ada satu mobil yang pengemudinya terlihat berada di luar mobil sedang berbicara menggunakan telpon genggam. Mungkin menghubungi nomor pengaduan layanan jalan tol.

Sedangkan saat kembali ke Jakarta, ada dua mobil yang mogok. Yang satu terlihat kap mesin mobil lagi terbuka. Tampaknya pengemudi sedang mencari penyebab mogok. Satu mobil lagi para penumpangnya berdiri di pinggir mobil, mungkin sambil menunggu mobil derek.

Ujung tol layang di km 48 (dok pribadi)
Ujung tol layang di km 48 (dok pribadi)
Nah sekarang dari sisi waktu. Saat berangkat, saya memasuki tol layang di km 9 pada jam 12.41. Ketika finish di km 48, jam di telpon genggam saya menunjukkan pukul 13.14. 

Artinya untuk jarak sejauh 39 km itu, kami membutuhkan waktu 33 menit. Jelas suatu penghematan yang signifikan dibandingkan pengalaman saya dulu terjebak berjam-jam di jalur yang sama tapi di bagian bawahnya.

Padat menjelang masuk tol layang di km 48 (dok pribadi)
Padat menjelang masuk tol layang di km 48 (dok pribadi)
Saya keluar di gerbang tol Karawang Timur dengan membayar tarif tol lama Rp 12.000. Tentu bila nanti tol layang juga telah menerapkan tarif resmi, pengguna tol layang akan membayar tol dua kali.

Dugaan saya tarif tol layang akan lebih mahal dari Rp 12.000. Saya tidak tahu rumus yang digunakan pemerintah dalam menghitung tarif tol. Yang jelas semakin baru jalan tolnya, semakin mahal tarifnya, karena berkaitan dengan biaya konstruksi yang semakin meningkat.

Mengacu pada tarif di beberapa ruas Tol Trans Jawa, dengan matematika sederhana saya menemukan tarif sekitar Rp 1.000 per km. 

Tapi tidak berarti tarif tol layang sejauh 39 km akan menjadi Rp 39.000. Perkiraan saya tarifnya berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000.

Gerbang masuk tol layang km 48 (dok pribadi)
Gerbang masuk tol layang km 48 (dok pribadi)
Saya masuk kota Karawang sekadar mencari makan siang. Meskipun saya sudah 33 tahun ber-KTP Jakarta, lidah Padang saya tidak bisa diajak kompromi. Alhasil, rumah makan Padang menjadi sasaran saya.

Setelah itu saya kembali ke Jakarta. Tepat jam 14.30, saya sudah kembali masuk tol layang di km 48. Sama dengan saat berangkat, kendaraan dapat dipacu dengan kecepatan maksimum yang diperkenankan. 

Jam 15.01, atau hanya menempuh perjalanan selama 31 menit, lebih cepat 2 menit ketimbang saat berangkat, saya pun keluar tol layang di km 9 yang termasuk kawasan Cikunir.

Jalan lurus yang bikin ngantuk (Dok pribadi)
Jalan lurus yang bikin ngantuk (Dok pribadi)
O ya bagi yang ingin menjajal tol layang tersebut tentu telah mengetahui dari berita di media massa bahwa tol layang tidak punya rest area dan juga tidak punya gerbang keluar selain setelah melewati ujung tol layang.

Jadi, urusan bahan bakar dan kondisi kendaraan harus dipastikan sudah oke sebelum menjajalnya. Jangan sampai mogok seperti beberapa kendaraan yang saya lihat.

Ada delapan titik yang bisa dilakukan untuk berbalik arah jika kondisi darurat. Tapi kondisinya dipasangi penghalang. Mungkin bila dipandu oleh petugas, penghalang ini bisa dibuka.

Proyek Meikarta di sisi kanan (dok pribadi)
Proyek Meikarta di sisi kanan (dok pribadi)
Kemudian dari sisi pengemudi, apa yang diceritakan teman saya? Ternyata melewati tol layang membuat ia beberapa kali menguap pertanda mengantuk. 

Padahal ia cukup tidur malam sebelumnya. Makanya ia memberi alasan kondisi jalan yang lurus, lancar, dan sedikit terayun-ayun karena efek jalan yang bergelombang, menjadi penyebab munculnya rasa kantuk.

Dok pribadi
Dok pribadi
Bagi yang ingin menjajal jalan tol layang, selain perlu memeriksa kondisi mobil, sebaiknya pengemudi juga prima kondisi fisiknya. Bagi yang tidak mengemudi, nikmati pemandangannya, jangan tidur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun