Tapi begitu berada di tol layang, kendaraan relatif tidak padat. Kendaraan ukuran besar memang tidak dibolehkan masuk tol layang, ini yang membuat nyaman bagi pengendara kendaraan pribadi.Â
Dari sisi lebar jalan, termasuk lumayan. Hanya ada tiga jalur, yakni jalur darurat, jalur normal, dan jalur untuk mendahului kendaraan lain. Tol layang lebih lebar ketimbang jalan layang non-tol Antasari dan Kasablanka yang tidak punya jalur darurat.
Meskipun hanya dibolehkan memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum 80 km per jam, kenyataannya banyak yang tergoda, atau barangkali tidak menyadari, menggeber laju mobil sampai 100 km per jam.
Pengakuan teman saya yang menyetir mobil, ia tidak sadar saat jarum penunjuk kecepatan di dashboard sudah menyentuh angka 100. Untung saya melihat dan meminta ia mengurangi kecepatan.
Untung saja tindakan terlarang itu dilakukan saat tidak ada mobil patroli lewat. Padahal beberapa km setelah itu ada sebuah mobil patroli berjalan pelan di jalur darurat.
Ada pula mobil yang mogok, bukan satu, tapi tiga buah mobil. Saat berangkat ada satu mobil yang pengemudinya terlihat berada di luar mobil sedang berbicara menggunakan telpon genggam. Mungkin menghubungi nomor pengaduan layanan jalan tol.
Sedangkan saat kembali ke Jakarta, ada dua mobil yang mogok. Yang satu terlihat kap mesin mobil lagi terbuka. Tampaknya pengemudi sedang mencari penyebab mogok. Satu mobil lagi para penumpangnya berdiri di pinggir mobil, mungkin sambil menunggu mobil derek.
Artinya untuk jarak sejauh 39 km itu, kami membutuhkan waktu 33 menit. Jelas suatu penghematan yang signifikan dibandingkan pengalaman saya dulu terjebak berjam-jam di jalur yang sama tapi di bagian bawahnya.