Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gazebo Literasi dan Pojok Baca, Tak Mampu Menyaingi Gawai

6 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 6 Februari 2020   04:01 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gazebo literasi di sebuah SD (dok. prioritaspendidikan.org)

Gazebo, jujur sebetulnya saya belum tahu arti sesungguhnya. Sebelumnya saya berpikir gazebo hanya semacam tempat duduk di pojok halaman atau pojok taman yang ditandai dengan bangunan terbuka yang memakai tenda.

Setelah berselancar di dunia maya, saya menemukan arti gazebo menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni bangunan kecil yang dirancang khusus, biasanya dibangun di lokasi yang memiliki pemandangan yang indah.

Namun definisi yang tercantum di Wikipedia lebih sesuai dengan apa yang saya maksudkan di tulisan ini. Di sini gazebo diartikan sebagai fasilitas dengan ruang terbuka sebagai alternatif tempat berkumpul dan melakukan kegiatan santai bersama anggota keluarga.

Di sebuah SMA Negeri di kawasan Kalibata Jakarta Selatan, saya melihat ada ruang terbuka tanpa dinding dengan tenda permanen sebagai atapnya. Ruang tersebut dinamakan Gazebo Literasi. 

Letaknya di pojok bagian depan. Para siswa naik ke gazebo dengan melepaskan sepatu di pintu masuk. Lantai gazebo memang dibuat lebih tinggi ketimbang halaman sekolah. Kemudian mereka duduk lesehan atau ada beberapa siswa malah tidur-tiduran.

Sayangnya sejumlah buku yang ada dalam rak di pojok gazebo tersebut sama sekali tidak dilirik para siswa. Mereka hanya bermain hape atau ngobrol ngalor ngidul saja antar sesamanya. Sehingga kalau disebut sebagai Gazebo Literasi, tampaknya belum berfungsi seperti itu.

Masih di sekolah yang sama, di ruang tunggu untuk tamu juga ada pojok baca. Ada satu rak tempat memajang sekitar 50 buah buku dengan topik umum, bukan buku pegangan buat siswa-siswi. Kebanyakan adalah buku motivasi atau pengembangan diri. Selain itu juga ada dua buah koran yang terbit di hari itu.

Ketika saya bertanya kepada penjaga sekolah, apakah banyak tamu yang membaca buku, ia menggeleng. Tapi kepala sekolah punya kebijakan khusus sehingga buku-buku itu terbaca. Siswa yang datang terlambat, wajib membaca buku di pojok ini sebelum diizinkan masuk kelas.

Jelaslah bahwa sebetulnya minat membaca siswa di sekolah itu belum sesuai harapan, makanya terpaksa malah dijadikan sebagai salah satu bentuk hukuman. Padahal yang diharapkan tentu bila membaca buku sudah dianggap oleh siswa sebagai suatu kebutuhan.

Di satu sisi, kreativitas pihak sekolah dengan menghadirkan gazebo literasi dan pojok baca, pantas mendapatkan apresiasi. Jadi sekolah yang saya maksud itu, tidak hanya punya perpustakaan yang standar berupa sebuah ruangan khusus sebesar ruangan kelas.

Dari pemberitaan di media daring, ternyata berbagai sekolah di berbagai penjuru tanah air lumayan terpacu kreativitasnya dalam melakukan gerakan lirterasi. Artinya gazebo seperti yang saya lihat, juga terdapat di banyak sekolah lain.

Atau kalau lingkup pembahasannya diperluas ke kawasan umum, tidak sebatas sekolahan saja, sebetulnya ada banyak tempat yang menyediakan buku-buku untuk dibaca secara gratis oleh mereka yang singgah di sana.

Di bandara atau stasiun kereta api, saya pernah melihat pojok baca. Tentu saja di banyak ruang tunggu seperti di bank, rumah sakit, hotel, atau perkantoran, juga menyediakan fasilitas sejenis. 

Hanya saja sekarang ini berbagai fasilitas yang diciptakan untuk merangsang minat baca masyarakat harus menghadapi saingan yang amat sulit ditandingi, yaitu gadget atau gawai.

Dulu, banyak orang yang tidak betah lama-lama di ruang tunggu. Makanya dengan adanya koran, majalah atau buku di ruang tunggu, paling tidak bisa mengurangi kebosanan.

Tapi, dengan keberadaan gawai betul-betul telah mengubah kebiasaan masyarakat. Banyak sekali hal yang didapatkan melalui gawai yang sering membuat penggunanya tersenyum sendiri, mungkin lagi chatting dengan temannya atau menikmati video yang lagi viral.

Memang untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat, gawai pun merupakan salah satu sarana. Toh, berbagai buku, majalah dan koran pun bisa dibaca melalui gawai.

Sayangnya, dari pengamatan sekilas, jarang pengguna gawai yang tujuannya untuk mencari informasi atau untuk menambah pengetahuan. Lebih banyak mereka yang hanya mengutak-atik berbagai aplikasi media sosial yang fungsinya terutama untuk silaturahmi dan hiburan.

Parahnya, sering pula gawai jadi sarana untuk mem-bully orang lain, menghujat, dan bahkan mengobarkan api permusuhan sesama anak bangsa.

Maka bagi pegiat literasi, di samping berupaya agar pojok baca dan gazebo literasi dapat berfungsi sebagaimana mestinya, penting pula menyediakan konten edukatif di dunia maya yang dikemas dengan penuh kreativitas, sehingga mampu menarik perhatian masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun