Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Komunikasi Antara KPK dan Presiden, Apa yang Mengganjal?

13 November 2019   00:07 Diperbarui: 13 November 2019   00:14 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD seputar kasus besar yang diminta Presiden Jokowi untuk diungkapkan oleh KPK, tapi belum jelas status progress report-nya, semakin memperjelas bahwa memang ada yang mengganjal dalam komunikasi antara Presiden dan KPK.

Sebelumnya, dengan disetujuinya UU KPK yang baru yang telah dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah, di mana KPK akan dilengkapi secara struktural dengan keberadaan dewan pengawas, sebagian masyarakat menilai bahwa Presiden lebih pro ke DPR ketimbang KPK. Soalnya pimpinan dan karyawan KPK banyak yang menolak revisi UU tersebut.

Seperti yang ditayangkan dalam siaran berita Kompas TV, Selasa pagi (12/11/2019), Mahfud MD berbicara di kantornya Senin malam (11/11/2019) dalam pertemuan dengan para pakar dan tokoh masyarakat.

Pada intinya menurut Mahfud, Presiden Jokowi sudah  berungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan korupsi, namun ada korupsi besar yang tidak terungkap. 

Padahal Presiden telah menunjukkan dan menyampaikan laporannya ke KPK. Makanya Presiden minta agar kepolisian dan kejaksaan diperkuat, di samping juga memperkuat KPK. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa Presiden kurang puas dengan KPK. 

KPK langsung bereaksi. Meskipun tidak jelas kasus besar apa yang dimaksudkan dalam pernyataan Menko Polhukam, Laode M Syarif yang merupakan salah satu Wakil Ketua KPK, menyampaikan keterangan kepada wartawan.

Seperti yang dilansir dari detik.com (12/11/2019), Syarif menyatakan ada dua kasus besar yang disoroti khusus oleh Presiden Jokowi, yakni kasus pembelian helikopter AW 101 dan kasus Petral yang merupakan anak perusahaan Pertamina yang dulu didirikan berbadan hukum Singapura.

Kedua kasus tersebut punya sejumlah kendala sehingga penanganannya cukup pelik. Kasus AW 101 perlu kerjasama yang kuat antara KPK dengan POM TNI. Sedangkan kasus Petral perlu penelusuran lintas negara yang membutuhkan kerjasama internasional.

Sebetulnya sudah ada kemajuan pada kasus-kasus itu, hanya karena kendala di atas, masih belum tuntas. Untuk AW 101, menurut Syarif, kasusnya tidak susah bila ada dukungan penuh dari Presiden dan Menko Polhukam, karena hanya butuh keterbukaan dan kesungguhan TNI. 

Selain itu, kasus pembelian helikopter tersebut saat ini sedang dalam tahap penghitungan jumlah kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga KPK juga berharap kesungguhan dan keterbukaan BPK.

Untuk kasus Petral yang melibatkan empat negara di luar Indonesia, yakni Singapura, Thailand, Uni Emirat Arab, dan British Virgin Island, hanya dua negara yang kooperatif. Negara yang tergolong safe heaven seperti Virgin Island, sulit bekerja sama.

Sejauh ini belum didapat tanggapan balik dari Menko Polhukam atau Presiden atas keterangan KPK tersebut. Jangan-jangan bukan itu yang dimaksudkan oleh Presiden. 

Atau mungkin pula Presiden manggut-manggut sambil ngomong dalam hati: "nah gitu dong, harusnya jangan nunggu disindir dulu, baru ngomong".

Apapun itu, jelas bahwa ada ganjalan yang membuat jalur komunikasi antara KPK dan Presiden tersumbat. Makanya, hal ini harus dibenahi. Dari sisi Presiden, tentu mengganggap sudah jelas dalam menyampaikan apa yang dimintanya ke KPK. 

Tapi dari sisi KPK, mungkin ada hal yang kurang jelas atau ada perbedaan penafsiran. Sementara untuk minta waktu bertemu Presiden tampaknya sulit. Apalagi karena independensinya, KPK tidak ikut dalam rapat kabinet seperti halnya Kapolri dan Jaksa Agung.

Kalaupun KPK berkomunikasi dengan staf kepresidenan, bisa jadi hanya terbatas terkait sisi administrasi atau protokoler, bukan membahas substansi kasus.

Maka untuk membenahi itu KPK perlu aktif menyampaikan saran, pola komunikasi seperti apa yang diinginkannya dan dicarikan titik temu dengan keinginan atau kebutuhan Presiden

Sebaiknya ada jadwal pertemuan rutin, bisa berupa rapat bersama, antara Presiden dan KPK, misalnya setiap bulan atau setiap dua bulan. Agar independensi KPK tetap terjaga, rapat bisa dilakukan secara bergantian, di istana negara dan di gedung KPK.

Memang bagi pimpinan KPK periode sekarang yang tinggal menghitung hari untuk mengakhiri pengabdiannya, pengaturan pola komunikasi ini mungkin tidak sempat lagi dilakukan. 

Tapi bagi pimpinan KPK yang baru, barangkali bisa dengan nyaman memulai tradisi komunikasi yang lebih lancar secara reguler dengan Presiden. 

KPK bisa pula belajar ke BPK yang juga lembaga independen yang pimpinannya dipilih oleh DPR atas usul Presiden seperti halnya KPK. 

Bagaimana mekanisme komunikasi BPK dengan Presiden, baik dengan tatap muka atau melalui surat, dapat ditiru atau dimodifikasi oleh KPK. 

Intinya, jangan ada lagi ganjalan dalam berkomunikasi, agar tidak menimbulkan salah persepsi yang mengakibatkan kurang produktifnya upaya pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun