Sejauh ini belum didapat tanggapan balik dari Menko Polhukam atau Presiden atas keterangan KPK tersebut. Jangan-jangan bukan itu yang dimaksudkan oleh Presiden.Â
Atau mungkin pula Presiden manggut-manggut sambil ngomong dalam hati: "nah gitu dong, harusnya jangan nunggu disindir dulu, baru ngomong".
Apapun itu, jelas bahwa ada ganjalan yang membuat jalur komunikasi antara KPK dan Presiden tersumbat. Makanya, hal ini harus dibenahi. Dari sisi Presiden, tentu mengganggap sudah jelas dalam menyampaikan apa yang dimintanya ke KPK.Â
Tapi dari sisi KPK, mungkin ada hal yang kurang jelas atau ada perbedaan penafsiran. Sementara untuk minta waktu bertemu Presiden tampaknya sulit. Apalagi karena independensinya, KPK tidak ikut dalam rapat kabinet seperti halnya Kapolri dan Jaksa Agung.
Kalaupun KPK berkomunikasi dengan staf kepresidenan, bisa jadi hanya terbatas terkait sisi administrasi atau protokoler, bukan membahas substansi kasus.
Maka untuk membenahi itu KPK perlu aktif menyampaikan saran, pola komunikasi seperti apa yang diinginkannya dan dicarikan titik temu dengan keinginan atau kebutuhan Presiden
Sebaiknya ada jadwal pertemuan rutin, bisa berupa rapat bersama, antara Presiden dan KPK, misalnya setiap bulan atau setiap dua bulan. Agar independensi KPK tetap terjaga, rapat bisa dilakukan secara bergantian, di istana negara dan di gedung KPK.
Memang bagi pimpinan KPK periode sekarang yang tinggal menghitung hari untuk mengakhiri pengabdiannya, pengaturan pola komunikasi ini mungkin tidak sempat lagi dilakukan.Â
Tapi bagi pimpinan KPK yang baru, barangkali bisa dengan nyaman memulai tradisi komunikasi yang lebih lancar secara reguler dengan Presiden.Â
KPK bisa pula belajar ke BPK yang juga lembaga independen yang pimpinannya dipilih oleh DPR atas usul Presiden seperti halnya KPK.Â
Bagaimana mekanisme komunikasi BPK dengan Presiden, baik dengan tatap muka atau melalui surat, dapat ditiru atau dimodifikasi oleh KPK.Â