Saya baru saja menuntaskan membaca buku yang berjudul "Mengembangkan Ruang Baca, Kisah Inspiratif Mantan Pejabat Microsoft Melawan Buta Aksara di Berbagai Belahan Dunia", yang merupakan terjemahan dari buku "Creating Room to Read, A Story of Hope in the Battle for Global Literacy".
Buku ini ditulis oleh John Wood berdasarkan pengalamannya sendiri menjadi seorang filantropis yang sukses mendirikan lebih dari 12.000 perpustakaan, menerbitkan lebih dari 10 juta buku, membangun lebih dari 1.500 sekolah dan mendukung lebih dari 13.000 anak perempuan untuk menyelesaikan sekolah menengahnya.
O ya, angka-angka di atas adalah yang tercantum dibuku yang saya baca, data tahun 2013. Data terbaru dari laman resmi roomtoread.org, perkembangannya sungguh dahsyat. Angkanya meroket menjadi 37.000 partner schools yang dibangunkan perpustakaannya, 14,3 juta anak yang menerima bantuan, 26 juta buku yang didistribusikan, dan 10.000 orang guru diberikan pelatihan setiap tahun.
Ternyata untuk menjadi filantropis tidak harus sekaya Bill Gates, Warren Buffett atau George Soros. Dengan pengelolaan yang profesional, organisasi nirlaba Room to Read (selanjutnya ditulis RR) yang didirikan John Wood, sukses mendulang dana yang didonasikan oleh para konglomerat dunia dan yang juga dikumpulkan dari orang banyak.
John sama sekali tidak menyesal pada tahun 1999 melepas karirnya yang gemilang di Microsoft. Padahal saat itu ia masih berusia 35 tahun dan sudah memegang posisi pejabat eksekutif. Sekiranya ia bertahan di sana, kemungkinan besar karirnya akan semakin menjulang meraih kursi top management.
Suatu kali di sela-sela kesibukannya John berlibur di Nepal untuk berwisata alam bernuansa pedesaan di dataran tinggi Himalaya. Secara kebetulan ia berkenalan dengan seorang kepala sekolah di suatu tempat yang bernama Bahundanda, sekitar 190 mil dari Kathmandu, ibu kota Nepal.
Ketika John berkunjung ke sekolah kenalan barunya itu, ia kaget melihat perpustakaan sekolah yang kosong, tak punya buku. Ucapan sang kepala sekolah yang berharap John suatu saat nanti akan datang kembali membawa buku-buku, membuat John tidak bisa tidur beberapa malam.
Maka jawaban terhadap kegundahannya itulah yang membuat John mantap meninggalkan perusahaan sekelas Microsoft dan dengan mimpi yang besar mendirikan RR. Awalnya hanya dengan mengirim email ke banyak temannya agar mereka mendonasikan buku-buku. Dukungan teman-teman tersebut menjadi embrio RR.
Cara manajemen modern di Microsoft diterapkan pula di RR. Penetapan target yang menantang, merekrut orang-orang terbaik, menjalin relasi dengan memanfaatkan semua saluran komunikasi serta berbagai jenis media promosi, diaudit akuntan terkenal, dan mengirimkan laporan pertanggungjawaban kepada donatur, menjadi kunci sukses RR.
RR menolak disebut sebagai lembaga amal karena kata "amal" sudah berkonotasi negatif. Seseorang yang beramal biasanya tidak mengikuti lagi apakah donasinya sampai ke sasaran atau malah untuk keperluan operasional lembaga amal itu sendiri.
Bagi warga miskin penerima amal pun, biasanya bantuan yang didapat akan membuat ketergantungan untuk minta bantuan lagi, karena tidak ada program pemberdayaan. Ibaratnya hanya memberi ikan, bukan kail.
Istilah donasi juga dihindari RR, menggantinya dengan investasi. John tidak salah, bukankah memberikan akses pendidikan kepada jutaan warga miskin, menjadi investasi tak ternilai? Mereka yang terdidik akan mendapat kesempatan lebih luas mengubah nasibnya di masa depan.
Tentu RR bukan tidak pernah ditimpa masalah. Ketika krisis moneter menimpa Amerika Serikat tahun 2008, beberapa donatur kelas kakap yang telah berjanji memberikan dananya dalam jumlah sangat besar, memilih ingkar janji. Padahal manajemen RR terlanjur memulai sejumlah proyek yang keberlangsungannya berharap dari dana yang dijanjikan konglomerat itu.
Pernah pula manajer RR di Afrika Selatan melarikan dana dalam jumlah besar, yang membuat John Wood begitu terpukul sampai-sampai sempat terpikir buat menghentikan operasinya di Afrika Selatan. Ternyata sistem rekrutmen yang canggih pun tidak seratus persen mampu menjaring orang-orang yang berintegritas tinggi.
Namun semangat John kembali bangkit setelah ia melaporkan secara jujur kepada para donatur apa yang sebetulnya terjadi dan mereka tetap percaya dan mendukung program-program RR. Dengan pengalaman buruk itu, justru RR mampu memperbaiki diri, sehingga kinerjanya semakin luar biasa.
Negara-negara miskin di Asia dan Afrika yang sangat berterima kasih atas bantuan RR antara lain Nepal, Bangladesh, India, Srilanka, Vietnam, Kamboja, Laos, Afrika Selatan, dan Zambia.
Tidak didapat informasi kenapa RR tidak beroperasi di Indonesia. Apakah karena Indonesia relatif lebih makmur dari negara-negara di atas? Atau hanya soal waktu dan prioritas saja, mengingat di beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur, program seperti yang dilakukan RR sangatlah diperlukan.
Atas keberhasilannya, RR mendapatkan penghargaan dari UNESCO untuk program Penerbitan Buku Berbahasa Lokal tahun 2013. Sebelumnya, pada 2008 RR dinobatkan Financial Times sebagai organisasi amal terbaik. Bayangkan apa yang akan terjadi jika ratusan orang mengikuti jejak John Wood, kata mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang bersama timnya di Clinton Global Initiative, rajin mengamati kemajuan yang diraih RR.
Ya, bayangkan apa yang terjadi, sangat mungkin kesenjangan antar negara maju dan negara miskin akan semakin menyempit. Karena kunci dari pemberantasan kemiskinan adalah dengan pendidikan, yang dimulai dari membebaskan masyarakat marjinal dari buta aksara. Di situlah pentingnya ruang baca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H