Bila disepakati bahwa usia di bawah 50 tahun tergolong muda bagi seorang menteri, mengingat kebanyakan menteri saat dilantik sudah berusia di atas itu, maka paling tidak ada beberapa menteri pada Kabinet Indonesia Maju yang belum lama ini dilantik, yang tergolong muda.
Nadiem Makarim yang dipasang sebagai Mendikbud adalah yang termuda, baru 35 tahun. Kemudian yang masih berusia kepala empat adalah Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (43 tahun), Menteri Sosial Juliari Batubara (47 tahun), Menteri Kelautan Edy Prabowo (47 tahun), Menteri BUMN Erick Thohir (49 tahun), dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama (49 tahun).
Menarik untuk mencermati, apakah para menteri yang berusia muda di atas , yang kebetulan semuanya juga berasal bukan dari aparatur sipil negara (ASN), akan mampu mengubah budaya kerja di kementerian yang dipimpinnya dengan budaya kekinian yang lebih egaliter?Â
Atau justru mereka larut terbuai dalam nyamannya budaya feodalisme di mana atasan sangat dilayani oleh bawahannya. Padahal Presiden Jokowi telah berkali-kali menyatakan, menjadi pejabat itu harus siap melayani rakyat, bukan dilayani.
Tulisan ini tidak menggambarkan secara khusus seperti apa budaya kerja di banyak kementerian. Tapi berdasarkan cerita teman-teman yang berkarir di beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mudah-mudahan bisa sebagai perbandingan. Soalnya, budaya kerja di BUMN masih sebelas-dua belas dengan yang ada di kementerian.
Nah, suatu kali, sebuah BUMN mengalami pergantian direktur utama. Penggantinya tergolong istimewa, karena yang masuk jadi pimpinan baru adalah mantan direktur utama dari sebuah perusahaan swasta.
Awalnya kedatangan si bos baru tidak mendapat respon positif dari karyawan. Pertama, si bos masih sangat muda, masih berusia 44 tahun. Padahal bos-bos sebelumnya, rata-rata berusia di atas 50 tahun, bahkan di atas 60 tahun. Kedua, si bos berasal dari perusahaan swasta yang asetnya jauh lebih kecil dari aset BUMN yang dipimpinnya setelah itu.
Konon, bisik-bisik antar karyawan yang sulit dibuktikan kebenarannya, si bos bisa terpilih menjadi direktur utama BUMN itu karena kedekatannya dengan salah satu orang penting di negeri ini.
Namun si bos tidak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan dukungan dari para staf dan karyawan. Hanya pejabat yang sudah berusia di atas si bos yang sebagian masih berkomentar miring. Mungkin iri, kok karirnya disalib anak kemaren sore dan bukan orang dalam.
Di mata karyawan, si bos dinilai baik hati. Sering tiba-tiba masuk ke ruang karyawan, berkeliling dari lantai ke lantai di kantor pusat, atau melongok kantor cabang secara mendadak.
Si bos juga rajin menyapa karyawan lebih dahulu dan mengajak ngobrol hal ringan dengan karyawan level bawah. Ini sebuah kejutan karena selama ini karyawan rendah seperti itu jarang diajak ngobrol pejabat. Gak usah direktur utama, ditegur kepala divisi pun jarang.
Gaya komunikasi si bos juga terkesan akrab, terkadang pakai "lu gue" saja. Bila ada acara tertentu, saat coffe break, si bos malah ngopi di kelompok para staf. Pokoknya si bos tidak menjaga jarak.
Saat memberikan pengarahan, si bos malah sedikit saja ngomong. Justru si bos memberikan kesempatan buat yang lain untuk berbicara panjang lebar yang disimak beliau dengan baik.
Namun itu semua hanya berlangsung sekitar satu tahun saja. Setelah si bos menguasai permasalahan di perusahaan, rasa percaya dirinya makin bertambah. Apalagi si bos sudah menemukan orang-orang yang dapat dipercaya dan dipromosikan menjadi pejabat lapisan kedua.
Saat memberikan pengarahan si bos mulai banyak memberikan instruksi, bahkan disertai ancaman dan nada suara marah. Untuk menemui si bos susahnya setengah mati. Tidak jelas, apakah sekretarisnya yang berlebihan mempersulit atau si bos yang berpesan ke sekretaris agar tidak diganggu oleh tamu yang mengantre.
Si bos mulai banyak agenda di luar kantor. Tak heran, surat-surat yang harus ditandatangani si bos banyak yang tak tersentuh sampai satu-dua minggu, karena makin lama makin menumpuk. Padahal ada sebagian surat yang sangat penting.Â
Surat masuk harus didisposisi si bos agar jelas divisi mana yang akan menindaklanjuti. Sedangkan surat keluar, surat keputusan, surat edaran, dan sebagainya, harus ditandatangani si bos.
Kemana-mana si bos selalu diiringi banyak pejabat lapis kedua atau ketiga yang melayani si bos dengan baik sekali. Tak tahu, apakah sekadar cari muka atau memang tulus. Padahal masing-masing pengiring itu punya job description yang harus dipenuhinya.
Bila si bos berkunjung ke kantor wilayah, yang menyambut di bandara kota tujuan adalah kepala wilayah dan pejabat wilayah lainnya. Tidak jarang si bos datang bersama istri sehingga istri pejabat daerah pun ikut menjemput.
Padahal konon di perusahaan swasta tak ada budaya seperti itu. Kalau ada pejabat pusat datang, yang menjemput hanya petugas protokol wilayah yang memang itu menjadi bagian dari job description-nya.
Jangan tanya kemeriahannya di malam hari. Apa hobi di bos, makanan kesukaan, lagu-lagu kesukaan, oleh-oleh yang pantas, menjadi hal penting. Bila si kepala wilayah salah dalam melayani, akan berbuah mutasi ke wilayah yang "kering".
Kalau target akhir tahun dapat dicapai atau dilampaui, agenda si bos akan mengambil cuti atau dinas sambil refreshing di luar negeri. Jangan tanya apakah ini efisien atau tidak, meski si bos pintar ngomong efisiensi saat menyampaikan pengarahan.
O ya, namanya juga bos, tentu memberikan kata sambutan, pengarahan, menggunting pita, menandatangani prasasti, atau yang sejenis itu, adalah hal yang sering dilakukan.Â
Hebatnya, dalam berbagai acara seperti itu, tangannya seolah tak berfungsi. Pintu mobil ada yang membukakan. Tas ada yang membawakan. Bahan presentasi ada yang menyiapkan dan menayangkan. Demikian pula kacamata dan buku catatan.
Benar kata orang, jabatan itu memabukkan. Awalnya bos baru seperti akan merombak budaya kerja menjadi lebih efisien, lebih to the point. Tapi lama-lama hanyut dengan gaya lama yang memperlakukan bos seperti raja.
Mungkin si bos tidak salah, karena banyak kepentingan yang bermain. Maksudnya, orang-orang dekat bos berkepentingan agar budaya lama tetap lestari. Laporan yang sampai ke si bos sudah dibungkus dengan format yang menyenangkan dan menyanjung si bos.
Itu baru dari kalangan internal perusahaan. Pihak eksternal, khususnya para rekanan yang menjadi pemasok barang kebutuhan perusahaan, para kontraktor pemburu proyek pembangunan sesuai rencana kerja perusahaan, juga tak kalah gencar melakukan pendekatan.
Lama-lama, rekanan yang disukai si bos akan ikut menjadi pihak yang berpengaruh, yang punya kekuatan bayangan. Bahkan ustad kesukaan si bos yang sering dipanggil berceramah bila ada acara keagamaan di kantor, juga punya kekuatan bayangan.
Begitulah, ternyata memang tidak mudah untuk mengubah budaya kerja yang awet secara turun menurun. Mungkin hal yang sama akan dihadapi oleh para menteri berusia muda yang berasal dari swasta.Â
Tapi dengan tekad yang kuat, tidak hanyut dalam empuknya kursi kekuasaan, Â seharusnya para menteri mampu menciptakan budaya kerja yang lebih fokus pada substansi, bukan seremonial yang penuh basa basi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H