O ya, namanya juga bos, tentu memberikan kata sambutan, pengarahan, menggunting pita, menandatangani prasasti, atau yang sejenis itu, adalah hal yang sering dilakukan.Â
Hebatnya, dalam berbagai acara seperti itu, tangannya seolah tak berfungsi. Pintu mobil ada yang membukakan. Tas ada yang membawakan. Bahan presentasi ada yang menyiapkan dan menayangkan. Demikian pula kacamata dan buku catatan.
Benar kata orang, jabatan itu memabukkan. Awalnya bos baru seperti akan merombak budaya kerja menjadi lebih efisien, lebih to the point. Tapi lama-lama hanyut dengan gaya lama yang memperlakukan bos seperti raja.
Mungkin si bos tidak salah, karena banyak kepentingan yang bermain. Maksudnya, orang-orang dekat bos berkepentingan agar budaya lama tetap lestari. Laporan yang sampai ke si bos sudah dibungkus dengan format yang menyenangkan dan menyanjung si bos.
Itu baru dari kalangan internal perusahaan. Pihak eksternal, khususnya para rekanan yang menjadi pemasok barang kebutuhan perusahaan, para kontraktor pemburu proyek pembangunan sesuai rencana kerja perusahaan, juga tak kalah gencar melakukan pendekatan.
Lama-lama, rekanan yang disukai si bos akan ikut menjadi pihak yang berpengaruh, yang punya kekuatan bayangan. Bahkan ustad kesukaan si bos yang sering dipanggil berceramah bila ada acara keagamaan di kantor, juga punya kekuatan bayangan.
Begitulah, ternyata memang tidak mudah untuk mengubah budaya kerja yang awet secara turun menurun. Mungkin hal yang sama akan dihadapi oleh para menteri berusia muda yang berasal dari swasta.Â
Tapi dengan tekad yang kuat, tidak hanyut dalam empuknya kursi kekuasaan, Â seharusnya para menteri mampu menciptakan budaya kerja yang lebih fokus pada substansi, bukan seremonial yang penuh basa basi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H