Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Senjakala Pasar Tradisional? Semoga Itu Semua Keliru

2 November 2019   19:07 Diperbarui: 3 November 2019   07:36 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Jakarta ada banyak sekali pasar tradisional. Di Kecamatan Tebet tempat saya berdomisili sebagai misal, sedikitnya ada 3 pasar, Pasar Tebet Barat, Pasar Tebet Timur dan Pasar Bukit Duri.

Itu baru pasar yang resmi karena dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI Jakarta.

Selain itu, masih ada lagi pasar kaget, pasar tumpah, pasar darurat, atau apapun namanya, yang maksudnya bukan pasar yang terkelola dengan baik. Sering hanya berupa lapak-lapak atau jejeran tenda yang mudah dibongkar pasang.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pada tulisan ini, saya hanya akan menyinggung pasar resmi saja. Ketiga pasar tersebut di atas, dulu relatif sering saya kunjungi, namun sekarang hanya sering sekadar saya lewati saja.

Meskipun saya hanya melewati saja, saya tetap bisa merasakan asyiknya melihat suasana pasar dari balik kaca, baik kaca angkot yang saya tumpangi atau kaca mobil pribadi.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Mungkin karena saya lahir dari keluarga pedagang, ayah saya berjualan sepatu dan sandal di Pasar Payakumbuh, Sumatera Barat, maka saya selalu tertarik melihat geliat atau denyut ekonomi di pasar, khususnya pasar tradisional.

Apalagi saya sejak sekolah menengah sudah dilibatkan ayah untuk ikut membantu beliau berdagang. Jadi, saat ayah pulang ke rumah untuk suatu keperluan, saya diberi kewenangan sepenuhnya untuk menjual barang dengan harga minimal yang telah ditetapkan ayah.

Pasar Bukit Duri, Jakarta Selatan (dok pribadi)
Pasar Bukit Duri, Jakarta Selatan (dok pribadi)
Bila saya berhasil menjual sepasang sepatu atau sandal sewaktu ayah tidak di kedai, sungguh kebahagiaan yang luar biasa rasanya.

Sangat tidak gampang merayu orang yang lewat di depan kedai untuk singgah melihat barang yang kita jual. Kalau pun ada pengunjung masuk, tidak gampang pula meyakinkan mereka bahwa barang yang kita jual cocok buat si pengunjung.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Begitu si pengunjung sudah terlihat menyukai barang yang kita jual, tidak gampang lagi melakukan proses tawar-menawar harga. Tapi semuanya saya nikmati.

Nasib menyeret saya meninggalkan aktivitas berdagang di pasar. Saya akhirnya menjadi warga ibu kota dan bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pasar Tebet Barat (pom.go.id)
Pasar Tebet Barat (pom.go.id)
Mungkin terpancing dengan nostalgia masa remaja, makanya setiap saya melewati pasar tradisional, saya selalu ingin nikmati suasananya.

Saya akan gembira melihat pedagang yang dipenuhi pengunjung dan ikut merasa sedih melihat pedagang yang melamun dengan tatapan kosong menunggu pembeli yang tak kunjung datang.

Dari tiga pasar di Tebet tersebut, menurut saya Pasar Tebet Barat adalah pasar yang relatif besar dan agak ramai. Pasar Tebet Timur relatif besar tapi agak sepi. Sedangkan Pasar Bukit Duri relatif kecil dan lumayan ramai.

Pasar Tebet Timur (detik.com)
Pasar Tebet Timur (detik.com)
Perlu diketahui, kondisi ekonomi warga Tebet Barat dan Tebet Timur lebih baik ketimbang warga Bukit Duri yang merupakan kawasan padat penduduk.

Namun dalam beberapa hal, ketiga pasar itu sama saja. Contohnya, untuk barang-barang kelontong, toko alat tulis dan juga toko pakaian, termasuk sepatu dan tas, tidak lagi menarik bagi pengunjung. 

Kebanyakan untuk barang seperti itu, konsumen berbelanja di jaringan ritel terkenal. Jaringan tersebut salah satunya menyewa tempat di Pasar Tebet Barat. 

Demikian pula barang-barang yang ada di mini market yang boleh dikatakan tersebar di banyak lokasi, membuat pedagang barang yang sama di pasar tradisional sempoyongan.

Tiga tahun lalu Pasar Tebet Barat masih ramai (beritajakarta.id)
Tiga tahun lalu Pasar Tebet Barat masih ramai (beritajakarta.id)
Bahkan tak jarang di satu lokasi, umpamanya di depan dan di sekitar Pasar Tebet Timur, ada lima mini market yang hampir selalu ada saja yang berbelanja.

Lalu kalau pasar tradisional memang sepi pelanggan seperti itu, apanya yang menggeliat? Berdasarkan pengamatan sekilas, geliat itu terasa di pagi hari dengan masih setianya ibu-ibu rumah tangga atau asisten rumah tangga membeli kebutuhan dapur.

Beras, aneka bumbu, rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, bawang, kelapa parut, daging ayam potong, daging sapi potong, ikan, adalah contoh barang yang saya maksud.

Jangan heran kalau di pagi hari, suasana agak kacau, karena banyak angkot atau bajaj yang menurunkan dan menaikkan penumpang di depan pasar. Tukang parkir juga sibuk karena banyak pula pengunjung yang membawa motor sendiri.

Anies Baswedan saat masih cagub DKI, 2016, di pasar Tebet Timur (kompas.com)
Anies Baswedan saat masih cagub DKI, 2016, di pasar Tebet Timur (kompas.com)
Para pedagang yang punya kios permanen kalah ramai dengan pedagang tidak resmi yang menggelar lapak, tenda payung, atau pedagang bergerobak yang mangkal di depan pasar.

Sebagian dari pedagang bergerobak tersebut berjualan makanan untuk sarapan pagi. Ini termasuk yang banyak dicari pengunjung, seperti pedagang lontong sayur, aneka gorengan dan bubur ayam.

Semakin crowded jalan di depan pasar, bagi saya malah semakin asyik. Meskipun laju kendaraan yang saya tumpangi jadi tersendat. Soalnya itu tadi, saya jadi punya kesempatan lebih lama melihat geliat pasar dan kalau perlu membuka kaca untuk menghirup aromanya.

Tapi kenapa saya tidak langsung saja masuk ke dalam pasar? Kenapa harus menikmati dari balik kaca? Karena saya termasuk korban kemajuan zaman dengan pola belanja setiap dua minggu di pasar swalayan.

Jajanan di pasar Tebet Barat (foodies.id)
Jajanan di pasar Tebet Barat (foodies.id)
Hanya istri saya yang rutin ke pasar, khusus membeli kebutuhan dapur seminggu sekali. Tapi karena belanjanya di pasar becek atau pasar basah, saya sesekali saja menemani. Sedangkan yang ke pasar swalayan langganan, saya sering mendampingi istri.

Lagipula saya juga tidak tega kalau masuk pasar sampai ke bagian dalam. Karena banyak cerita sedihnya, melihat sepinya pengunjung. Yang ramai di bagian depan saja.

Pernah saya memotong bagian bawah celana panjang yang saya beli di sebuah mal ke tukang jahit di pasar tradisional. Akhirnya malah jadi mendengar curhat tentang sepinya pasar.

Memang, pasar tradisional sedang menuju senjakala. Makanya selagi masih menggeliat saat saya intip dari balik kaca, saya masih bergembira. Paling tidak, saya punya harapan, dugaan senjakala pasar tradisional itu adalah keliru.

Para calon kepala daerah juga tidak mau kehilangan pasar tradisional. Cabup, Cawalkot, Cagub, Capres, pasti butuh pasar tradisional sebagai tempat yang ampuh buat kampanye sambil diliput wartawan. Meskipun setelah menang, seperti kembali terlupakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun