Sampai pelantikan Jokowi dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres pada tanggal 20 Oktober mendatang, pihak kepolisian tidak memberi izin bagi kelompok manapun, termasuk mahasiswa, untuk melakukan demonstrasi.
Sebetulnya kalau mencermati tuntutan gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar beberapa minggu lalu, tidak ada agenda yang mengarah kepada penggagalan pelantikan Jokowi dan Ma'ruf Amin.
Namun analisis pihak intelijen bisa jadi mendeteksi adanya kelompok yang menunggangi demo mahasiswa dengan agenda menurunkan Presiden. Adapun perjuangan mahasiswa lebih terfokus pada penggagalan diberlakukannya Revisi UU KPK yang baru, yang menurut versi mahasiswa ditafsirkan sebagai memperlemah KPK.
Makanya upaya mahasiswa yang juga didukung banyak tokoh masyarakat, hampir saja membuahkan hasil yang manis ketika Presiden Jokowi menyatakan mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yang artinya akan mencegah berlakunya UU KPK yang baru.
Masalahnya, waktu yang tersedia sudah sangat mendesak. Pada siaran Kompas TV, Rabu pagi (16/10/2019), pembawa acaranya menyatakan bahwa bila sampai tanggal 17 Oktober 2019 Perppu dimaksud belum terbit, maka secara otomatis UU KPK yang baru, ditandatangani atau tidak oleh Presiden, telah berlaku dengan efektif.
Memang saat ini di Mahkamah Konstitusi tengah diproses judicial review terhadap UU KPK hasil revisi tersebut. Tapi proses ini diduga masih memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk sampai tahap mengambil keputusan.
Jelaslah, situasi sekarang sangat menguntungkan bagi kelompok yang pro revisi UU KPK, yang sebagian besar adalah dari kalangan partai politik.Â
Tadinya dengan tekanan publik yang demikian besar, diperkirakan akan memuluskan langkah penerbitan Perppu. Apa daya, tekanan publik berupa demonstrasi untuk sementara tak bisa dilakukan.
Tapi tekanan dalam bentuk lain masih berlangsung. Sebagai contoh, Kompas hari ini, Rabu (16/10/2019) memberitakan surat terbuka dari kelompok masyarakat yang menamakan dirinya "Perempuan Indonesia Antikorupsi".
Surat terbuka tersebut dibacakan di Gedung KPK, Selasa (15/10/2019) oleh Anita Wahid, putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid.
"Ketika korupsi merajalela, perempuan adalah pihak pertama yang paling dirugikan. Ketika perempuan dirugikan akibat korupsi, dampaknya sangat banyak. Ketidakmampuan masyarakat miskin mengakses pendidikan, mengakses kesehatan, dan segala macam itu adalah efek yang paling nyata dari korupsi," kata Anita saat membacakan surat tersebut.
Anita menambahkan bahwa substansi dari revisi UU KPK berpotensi menghambat kinerja KPK. Dalam kondisi demikian, Presiden diharapkan menjadi yang terdepan dalam memimpin pemberantasan korupsi.
Alat dobrak utama dalam memberantas korupsi adalah KPK. Maka bila KPK terganggu, program pembangunan yang diusung pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi bukan tidak mungkin akan menjadi tidak tepat sasaran.
KPK sendiri seperti berpacu dengan waktu. Memanfaatkan detik demi detik sebelum revisi UU KPK secara otomatis berlaku, kegiatan OTT masih gencar dilakukan. Setelah Bupati Indramayu, giliran Wali Kota Medan yang terkena OTT.
Besok, masyarakat menunggu apa yang akan terjadi dengan agenda pemberantasan korupsi. Betulkah KPK kehilangan taji?Â
Presiden Jokowi sendiri bungkam ditanya soal Perppu KPK, seperti yang dilansir dari tempo.co (16/10/2019). Maka boleh ditafsirkan, paling tidak dalam waktu dekat ini tidak bakal ada Perppu yang ditunggu-tunggu penggiat antikorupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H