Negara kita punya banyak sekali Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikoordinir oleh Kementerian BUMN. Rencananya nanti kementerian ini akan ditiadakan dan diganti dengan super holding company atau semacam perusahaan induk utama yang sepenuhnya berorientasi bisnis.
Memang dengan koordinasi di bawah sebuah kementerian, pengelolaan sekitar 140-an BUMN yang ada, terkesan jadi birokratis.Â
Padahal berkaca dengan pengalaman negara jiran, ada super holding company Khazanah Nasional Berhad Malaysia dan Temasek Holdings Singapaura yang sudah menunjukkan keberhasilannya di level internasional.Â
Mudah-mudahan di masa Menteri BUMN yang baru Erick Thohir, kita juga segera punya yang seperti itu.
Contohnya, bila anda melewati jalan tol dari arah Semarang ke Jakarta, di kilometer 260 (titik nol kilometer dihitung dari Jakarta pada ruas tol Jakarta Cikampek), telah hadir rest area terbesar sepanjang jalan tol Trans Jawa.Â
Area ini adalah bekas Pabrik Gula Banjaratma yang telah 20 tahun berhenti beroperasi.
Didirikan oleh NV Cultuurmaatschappij Amsterdam pada tahun 1908, terakhir pabrik gula ini dikuasai oleh salah satu BUMN yakni PT Perkebunan Nusantara.Â
Namun akhirnya pabrik terpaksa ditutup karena produksinya mulai menurun. Untunglah di atas lahan seluas 10,6 hektar ini bisa "disulap" jadi rest area berkonsep heritage.
Ini bukan yang pertama aset terbengkalai dari bekas pabrik gula "disulap" jadi sesuatu yang bermanfaat bagi publik. Dua tahun lalu di Solo, bekas pabrik gula Colomadu telah bertransformasi jadi museum besar bergaya kekinian.Â
Sekarang museum yang dinamakan De Tjolomadoe itu menjadi objek wisata unggulan di Solo. Silahkan baca tulisan saya tentang De Tjolomadoe di sini.
Begitu memasuki tempat peristirahatan ini, di samping kagum dengan luas areanya, saya juga terperangah melihat betapa berbedanya rest area yang satu ini dengan semua rest area yang ada di jalan tol di negara kita.
Ternyata toko-toko dan restoran tersebut bukannya tidak ada, malah banyak banget, tapi semuanya ditampung di sebuah tempat sangat besar mirip hanggar pesawat terbang.
Ada pula dinding yang dibangun baru, tapi tampaknya disengaja hanya berupa susunan batu bata merah saja tanpa dilapisi, sehingga seperti bangunan yang belum jadi.Â
Di bagian dalam pun, tungku pembakaran, mesin giling, dan beberapa peninggalan pabrik lainnya, dibiarkan seperti itu. Jadi gedung ini juga berfungsi seperti museum.
Banyak sekali pengunjung yang sibuk berfoto. Ada dua kelompok pengunjung, yakni para pelintas di jalan tol yang sekadar singgah sebentar dan yang sengaja datang berwisata.
Tadi disebutkan ada banyak pedagang yang berjualan makanan, oleh-oleh, barang kerajinan, dan semacam mini market. Tapi jangan mencari jaringan restoran terkenal yang biasa beroperasi di rest area lain.
Betapa sering kita mendengar keluhan pedagang kecil yang omzetnya menukik tajam setelah warung tempatnya berjualan tidak lagi disinggahi pelanggan. Itulah salah satu dampak negatif dibukanya jalan tol, selain banyak dampak positifnya.
Nah, rest area di Brebes ini tergolong pengecualian karena menjadi solusi cerdas buat memberi tempat bagi pedagang kecil. Maka para pedagang telor asin, yang menjadi oleh-oleh khas Brebes, cukup dominan terlihat.
Keistimewaan teh poci adalah cara penyajiannya yang memakai teko dan  cangkir jadul yang terbuat dari tanah liat. Kemudian juga diisi dengan gula batu, sehingga sensasinya berbeda.
Saat mencari masjid kami sempat bingung. Tak terlihat ada bangunan berkubah. Ada memang dinding batu bata merah yang panjang dengan lambang masjid di salah satu sudutnya. Hanya kami curiga kalau itu masjid yang belum jadi.
Ternyata di balik dinding itu terdapat masjid cantik yang unik berbentuk bujur sangkar dengan ukuran yang mampu menampung sekitar 100 orang jamaah. Banyak bagian yang terbuka, sehingga tidak memerlukan pendingin ruangan.
Fasilitas toilet yang di dalam gedung, sangat bagus setara dengan yang ada di mal besar. Namun toilet yang dekat tempat parkir mobil relatif kotor karena banyak penggunanya.Â
Rata-rata mereka yang turun dari kendaraan, langsung mencari toilet terdekat, padahal toilet dalam gedung bekas pabrik yang agak jauh dari tempat parkir, jauh lebih nyaman.
Meskipun banyak pengunjung, para pedagang terlihat tidak begitu sibuk melayani pembeli, karena kebanyakan pengunjung hanya sekadar melihat-lihat dan berfoto saja.Â
Termasuk warung makan pun juga relatif sepi, barangkali pengunjung takut dikenakan harga yang mahal. Sebaiknya, toko dan warung di sana mencantumkan harga yang terbaca oleh pengunjung, agar mereka tidak ragu-ragu untuk berbelanja.
Agar konsep heritage yang ada bisa dinikmati pengunjung yang lebih banyak dan menjadi destinasi wisata, pengelola rest area  perlu melakukan acara di hari-hari tertentu sepeti pertunjukan musik, atraksi budaya, fashion show, festival kuliner, pasar murah, dan sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H