Karanganyar adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang masih termasuk kawasan Solo Raya atau eks karesidenan Surakarta. Memang banyak orang yang lupa mencantumkan nama Karanganyar, cukup ditulis Solo saja.
Jadi harap maklum kalau Karanganyar meskipun sebetulnya banyak didatangi wisatawan domestik, namun ironisnya kurang dikenal, karena pengunjung mengingatnya sebagai Solo.
Artinya kami sudah mengukur kekuatan, saat turun ke lokasi air terjun, mungkin gampang. Namun pasti saat naik kembali melewati ratusan anak tangga, kami akan sangat ngos-ngosan, meskipun ada pos tempat beristirahat sejenak.
Makanya kami memilih wisata kuliner saja, selain ke Tjolomadoe yang sudah saya tulis di sini. Nah tulisan kali ini khusus tentang kuliner yang sempat kami nikmati.
Kebun tehnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kebun teh di Puncak, Jawa Barat. Tapi yang menarik, restorannya berupa rumah tempo dulu yang berarsitektur Belanda dan masih terpelihara dengan baik.
Interior di dalam restoran pun ditata sedemikian rupa sehingga bernuansa era kolonial. Ada beberapa tempat photo booth dengan latar belakang lukisan Eropa jadul. Ada pula mobil VW kodok di depan restoran yang menarik perhatian.
Makanan dan minuman yang disediakan restoran yang dibuka sejak sembilan tahun lalu itu, kebanyakan berjenis tradisional. Bahkan turis dari Belanda pun menyenangi makanan tradisional tersebut, terutama timus, cemilan yang terbuat dari singkong.
Berikutnya kami mencicipi jadah tempe, yakni tempe bacem yang dimakan sekaligus dengan tape yang dibungkus mirip lemper. Penasaran dengan timus, ini menjadi pilihan kami berikutnya.
Karena tempatnya tergolong eksklusif, pengunjung harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam. Harga makanan dan minumannya di atas harga restoran biasa.
Nama rumah makannya Warung Idjo. Panjang sekali daftar menunya, tapi pilihan kami terpecah dalam dua kelompok. Ada yang memilih garang asem ayam kampung, dan ada pula yang memilih sop kepala ikan.
Karena kami menginap di sebuah homestay di Solo, maka malamnya  giliran kami menyantap bakso yang rasanya nendang banget di Bakso Kadipolo yang berada dekat Rumah Sakit Muhammadiyah Surakarta.
Sebelum tidur, kami masih menyempatkan diri untuk mencari minuman yang hangat di sebuah warung. Uniknya, di dalam warung ada gerobak tempat menaruh aneka gorengan dan cemilan tradisional lain.Â
Pengunjung hanya memesan jenis minuman seperti wedang jahe atau kopi, sedangkan untuk cemilan dipersilakan mengambil sendiri dari apa yang tersedia di atas gerobak. Harganya murah meriah.
Di atas meja pengunjung juga disediakan menu tambahan seperti tempe, tahu, sate usus, sate daging sapi, empal, perkedel dan aneka kerupuk. Pengunjung tinggal mencomot saja.
Roti semir menjadi oleh-oleh yang paling laris, sejenis roti yang dibelah bagian tengahnya diisi mentega dengan cara disemir. Karena roti ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bolehlah disebut sebagai tradisional juga.
Selepas membeli oleh-0leh, berakhir pula petualangan kami berburu makanan tradisional di Karanganyar dan Solo, karena kami harus kembali ke Jakarta.Â
Kesimpulannya, di tengah gempuran kuliner asing yang sudah menyasar masuk kota kabupaten di berbagai penjuru tanah air, kami merasa kuliner tradisional telah menunjukkan kekokohannya, tahan banting dan menolak untuk menyerah.
Buktinya, di setiap tempat makan yang saya ceritakan di atas, pengunjungnya melimpah dan ada yang kami harus bersabar menunggu dapat tempat duduk. Kuncinya terutama karena maknyusnya rasa makanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H