Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sering Jadi Ajang Pertengkaran, Kenapa Talk Show Tetap Diperlukan?

13 Oktober 2019   10:10 Diperbarui: 13 Oktober 2019   10:16 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara talk show yang disiarkan secara live merupakan salah satu acara yang populer di beberapa stasiun televisi kita, khususnya stasiun televisi yang konten beritanya dominan.

Beberapa acara dimaksud yang punya banyak penggemar antara lain Rossi di Kompas TV, Indonesia Lawyer Club di TV One, dan Mata Najwa yang bertahan lama di Metro TV namun sekarang berlabuh di Trans7.

Populernya acara seperti di atas antara lain karena mempertemukan dua kubu yang mempunyai perbedaan pendapat yang bertolak belakang atas suatu isu yang lagi hangat dibicarakan masyarakat.

Hanya saja, banyak politisi muda yang mengisi acara talk show terkesan temperamental. Mereka cenderung berbicara dengan nada keras dan suka memotong pembicaraan lawan bicaranya dengan penuh emosi.

Tampaknya kemampuan para politisi saat ini kurang diimbangi dengan kemampuan mereka untuk sabar mendengarkan pendapat lawan diskusi sampai tuntas, meskipun ia sangat tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Itulah yang dipertontonkan oleh politisi muda dari PDIP, Arteria Dahlan, terhadap tokoh senior yang sangat dihormati, Emil Salim, dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan Trans7, Rabu (9/10/2019).

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menambah hujatan bagi Arteria yang oleh banyak pihak dinilai sangat tidak sopan. Bagi yang ingin mendapat informasi tentang kekecewaan terhadap Arteria tersebut silakan berselancar di dunia maya.

Terlepas dari materi diskusi yang kebenarannya dapat dilihat dari sisi yang berbeda, cara yang ditunjukkan Arteria bukanlah cara berdebat yang baik, namun merupakan sebuah pertengkaran.

Tapi ada banyak Arteria lainnya yang menjadi bintang panggung di televisi. Ironis memang, justru karena gayanya yang seperti itu malah laris muncul di layar kaca. Artinya, tak berlebihan bila ditafsirkan bahwa stasiun televisi ternyata membutuhkan orang-orang seperti itu.

Disadari atau tidak, hubungan tersebut bersifat simbiosis mutualisme. Stasiun televisi terdongkrak rating-nya dan penerimaan dari iklan jadi meningkat. 

Sedangkan bagi mereka yang bergelar politisi muda, terlepas dari adanya pihak yang berseberangan dengannya yang akan menghujat, popularitasnya juga meningkat.

Tak heran banyak politisi muda yang sering tampil dalam berbagai acara talk show, melenggang ke Senayan Jakarta, tempat anggota DPR berkantor, karena meraup suara yang mencukupi saat pileg yang lalu.

Pertanyaannya sekarang, okelah pihak stasiun televisi dan politisi sama-sama diuntungkan, tapi apakah perlu acara seperti itu dipertahankan kalau akhirnya memberi contoh buruk bagi masyarakat?

Disebut contoh buruk, karena betapa orang tua seperti Emil Salim dibentak-bentak yang ditonton jutaan rakyat, kasihan sekali bukan?

Nah, tulisan ini bermaksud menyampaikan bahwa bagaimanapun juga acara talk show tetap diperlukan. Alasannya, inilah salah satu sarana pendidikan politik bagi masyarakat.

Masyarakat akan mendapatkan berbagai pandangan atas topik aktual. Masyarakat juga dapat mengetahui bagaimana suatu kebijakan pemerintah diambil dan siapa tokoh di balik layarnya.

Ada manfaat mulia lainnya yaitu masyarakat secara tidak langsung bisa mengawasi bagaimana implementasi dari suatu kebijakan, karena hal ini termasuk yang sering menjadi topik perdebatan. 

Sayangnya tujuan mulia ini belum terwujud dengan baik. Namun ada angin segar karena aspirasi masyarakat bila tidak diserap oleh wakil rakyat di parlemen, akan diperjuangkan oleh organisasi masyarakat, atau bahkan melalui petisi bergulir melalui media sosial.

Bila nantinya masyarakat semakin cerdas secara merata, logikanya akan berdampak pada hasil pileg atau pilkada. Mereka yang terpilih harusnya tidak saja yang berpengetahuan luas, tapi yang lebih penting juga punya sikap dan kepribadian yang baik, antara lain terlihat dari penampilan di talk show.

Jelas bukan, kenapa talk show perlu dipertahankan. Perlu diingat, acara tersebut acuannya adalah apa yang telah lama ditayangkan di Amerika Serikat, negara yang mengaku sebagai kampiun demokrasi.

Namun di negara kita, baru ketika reformasi bergulir, acara seperti itu mendapat tempat. Jangan harap menelusuri acara sejenis yang menjadi produk televisi di era Soeharto. Tak akan ketemu.

Memang, seorang Wimar Witoelar yang menjadi pelopor tayangan talk show di Indonesia melalui acara bertajuk "Perspektif" bekerja sama dengan SCTV, telah memulai pada penghujung pemerintahan Soeharto.

Saat itu Perspektif sudah terkesan sangat berani, meskipun bila dibandingkan dengan acara talk show sekarang, masih kalah berani. Tapi begitu Soeharto tumbang, meskipun Perspektif tidak bertahan lama, berbagai acara sejenis pun bermunculan.

Dulu Wimar Witoelar belum berani tayang secara live. Namun dengan diskusi secara jernih, pertanyaan yang spontan dan jawaban yang juga spontan tanpa diedit, Wimar turut memberikan pendidikan politik bagi pemirsa.

Untuk masa mendatang, agar acara talk show lebih bermanfaat, pihak yang bertanggung jawab dalam mengangkat acara ini perlu melakukan sejumlah pembenahan, terutama menyangkut siapa pembicara yang layak ditampilkan.

Tokoh senior sekelas Emil Salim, boleh-boleh saja tampil, namun harusnya tidak disatupanggungkan dengan politisi muda yang portofolionya sudah diketahui sebagai temperamental.

Demikian pula figur-figur muda yang gampang terpancing emosinya harusnya di-briefing dulu sebelum tampil tentang etika dalam berdebat.

Terhadap mereka yang berkali-kali terbukti melanggar etika, setelah diberikan peringatan, namun tidak memperbaiki diri, ada baiknya di-black list.

Jika penyelenggara acara gagal mengambil langkah perbaikan, tidak ada salahnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisiatif untuk bertindak dengan menegur pihak manajemen stasiun televisi.

Ya kita tahu KPI terlalu sibuk mengamati acara talk show dengan genre lain, yakni yang berbau gosip artis. Demikian pula sinetron yang tidak bermutu masih saja ditayangkan banyak stasiun televisi. Tapi KPI sesekali juga harus peduli dengan talk show politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun