Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kasus Korupsi Bupati Lampung Utara dan Kontradiksi Sikap Masyarakat

9 Oktober 2019   10:10 Diperbarui: 9 Oktober 2019   10:19 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Lampung Utara (foto: ANTARA)

Sebetulnya saya kurang bersemangat menuliskan kasus korupsi hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang baru saja menimpa Bupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara.

Soalnya, menurut saya, saking biasanya pejabat di negara kita terkena kasus seperti itu, nilai beritanya sudah berkurang. Saya bahkan khawatir kalau masyarakat sudah tidak sensitif lagi, dan ikut-ikutan menilai korupsi sebagai hal yang lazim. Bahkan ada yang bilang korupsi sudah membudaya. Parah sekali, bukan?

Namun saya akhirnya memutuskan tetap menulis seputar kasus korupsi di Lampung Utara tersebut, karena adanya kontradiksi sikap masyarakat di sana atau setidaknya bisa ditafsirkan demikian.

Sebelum itu, bagi yang tidak mengikuti kasus ini, ada baiknya diinformasikan bahwa Agung Ilmu  Mangkunegara ditangkap KPK di rumah dinasnya, Minggu (6/10/2019) malam. 

Penangkapan itu diduga terkait dengan proyek di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Utara. KPK juga menyita uang Rp 600 juta yang hendak diserahkan kepada Agung Ilmu Mangkunegara.

Kemudian perlu pula diketahui perjalanan karir seorang Agung Ilmu Mangkunegara. Agung adalah anak seorang mantan bupati Kabupaten Way Kanan, Lampung.

Agung sendiri yang lahir tahun 1982 memulai karirnya sebagai Sekretaris Lurah Blambangan Umpu, Way Kanan. Kemudian pernah menjadi Camat Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung.

Pada tahun 2010 Agung  mencoba peruntungannya untuk menggantikan sang ayah jadi Bupati Way Kanan, namun gagal. Tapi pada tahun 2014 ia berhasil menduduki kursi Bupati Lampung Utara, yang dipertahankannya pada tahun 2019.

Nah, sekarang di mana letak kontradiksi sikap masyarakat Lampung Utara? Begini, pada berita kompas.com (8/10/2019), ditulis bahwa masyarakat menilai kisah yang menimpa bupatinya bukan sebagai kisah sedih, tapi justru kisah gembira karena saking kesalnya dengan perilaku sang bupati.  

Seorang warga, Sandi Fernanda, menyebut sang bupati sebagai zalim. Sandi adalah koordinator aksi potong kambing di halaman Kantor Pemerintah Daerah Lampung Utara, sebagai ungkapan rasa syukur atas tertangkapnya Agung Ilmu Mangkunegara.

Bisa ditafsirkan bahwa sepak terjang sang bupati sudah diketahui masyarakat. Masalahnya, Agung baru saja dilantik untuk periode kedua kepemimpinannya di Lampung Utara, 7 bulan yang lalu.

Bukankah itu berarti Agung berhasil meraih dukungan masyarakat saat pilkada? Tak ada alasan masyarakat asal memilih atau belum kenal, mengingat itu tadi, Agung sudah punya track record pada lima tahun pertama.

Atau, ini baru dugaan, apakah masyarakat tidak begitu peduli dengan track record yang tidak bagus, karena mendapat sesuatu selama kampanye?

Kalau betul begitu, bukankah masyarakat sendiri yang permisif terhadap perilaku koruptif? Lalu kenapa sekarang masyarakat sampai mengadakan pesta potong kambing sebagai perwujudan rasa syukur tertangkapnya sang bupati?

Perlu dicatat, meskipun korupsi terjadi hampir merata di semua provinsi, Lampung termasuk salah satu pemegang rekor. Sebelum Agung, sejumlah bupati lain di Lampung, yakni  Mustafa (Bupati Lampung Tengah), Zainuddin Hasan (Bupati Lampung Selatan),  Bambang Kurniawan (Bupati Tanggamus) dan  Khamamik (Bupati Mesuji), sudah terlebih dahulu terlibat kasus korupsi.

Idealnya, masyarakat lebih teliti dalam menjatuhkan pilihan pada calon pemimpinnya. Jika diperkirakan seorang calon diragukan kebersihannya dari praktik korupsi, ya jangan dipilih.

Jadi, kesalahan tidak semata-mata harus ditimpakan kepada pejabatnya saja. Masyarakat pun harus dididik untuk bertanggung jawab dengan pilihannya.

Ingat, pilkada itu berbiaya mahal. Sungguh disayangkan bila biaya yang mahal itu malah menghasilkan pemimpin yang kurang berintegritas.

Pendidikan politik yang lebih intensif, menjadi kunci untuk perbaikan ke depan. Tapi menjadi tugas siapa? Apakah tugas Komisi Pemilihan Umum? 

Tampaknya harus ada gerakan yang lebih sistematis, konsisten dan berasal dari berbagai pihak, termasuk pers, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun