Bukankah itu berarti Agung berhasil meraih dukungan masyarakat saat pilkada? Tak ada alasan masyarakat asal memilih atau belum kenal, mengingat itu tadi, Agung sudah punya track record pada lima tahun pertama.
Atau, ini baru dugaan, apakah masyarakat tidak begitu peduli dengan track record yang tidak bagus, karena mendapat sesuatu selama kampanye?
Kalau betul begitu, bukankah masyarakat sendiri yang permisif terhadap perilaku koruptif? Lalu kenapa sekarang masyarakat sampai mengadakan pesta potong kambing sebagai perwujudan rasa syukur tertangkapnya sang bupati?
Perlu dicatat, meskipun korupsi terjadi hampir merata di semua provinsi, Lampung termasuk salah satu pemegang rekor. Sebelum Agung, sejumlah bupati lain di Lampung, yakni  Mustafa (Bupati Lampung Tengah), Zainuddin Hasan (Bupati Lampung Selatan),  Bambang Kurniawan (Bupati Tanggamus) dan  Khamamik (Bupati Mesuji), sudah terlebih dahulu terlibat kasus korupsi.
Idealnya, masyarakat lebih teliti dalam menjatuhkan pilihan pada calon pemimpinnya. Jika diperkirakan seorang calon diragukan kebersihannya dari praktik korupsi, ya jangan dipilih.
Jadi, kesalahan tidak semata-mata harus ditimpakan kepada pejabatnya saja. Masyarakat pun harus dididik untuk bertanggung jawab dengan pilihannya.
Ingat, pilkada itu berbiaya mahal. Sungguh disayangkan bila biaya yang mahal itu malah menghasilkan pemimpin yang kurang berintegritas.
Pendidikan politik yang lebih intensif, menjadi kunci untuk perbaikan ke depan. Tapi menjadi tugas siapa? Apakah tugas Komisi Pemilihan Umum?Â
Tampaknya harus ada gerakan yang lebih sistematis, konsisten dan berasal dari berbagai pihak, termasuk pers, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.Â