Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Antisipasi Datangnya Resesi, Betulkah "Cash is The King"?

5 November 2019   10:10 Diperbarui: 5 November 2019   18:00 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. washingtonpost.com

Sudah banyak ekonom yang mengingatkan bahwa pada tahun 2020 mendatang, berkemungkinan besar akan terjadi resesi dunia. Tentu hal itu telah didukung berbagai data yang relevan dan dianalisis menggunakan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sebagai orang awam, saya hanya bisa berdoa semoga prediksi para ahli tersebut tidak terwujud. Tapi langkah antisipatif untuk berjaga-jaga selayaknya kita lakukan.

Ada istilah yang berkaitan dengan langkah antisipasi buat menghadapi resesi, yang jujur saja belum saya pahami sepenuhnya, yakni cash is king. Maka saya pun mencari referensi apa yang dimaksud dan melakukan analisis sederhana.

Dalam situasi normal, seseorang yang punya uang, lazimnya tidak akan menahan kas dalam jumlah besar, karena malah merugikan, bisa tergerus inflasi.

Dalam pelajaran manajemen keuangan, uang kas yang menganggur (idle money) harus ditekan seminimal mungkin. Dengan catatan masih ada tabungan di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu jika ada keperluan mendadak atau terjadi kondisi darurat.

Menurut para perencana keuangan, idealnya jumlah dana darurat tersebut setara tiga bulan pengeluaran rutin. Dana darurat yang terlalu kecil dianggap riskan bila terjadi situasi tak terduga. Terlalu banyak malah jadi mubazir.

Apalagi tabungan di bank, meskipun dapat bunga, jumlahnya sangat kecil. Bahkan bunga yang didapat penabung bisa-bisa impas saja dengan biaya administrasi yang dibebankan pihak bank pada penabung.

Makanya bila seseorang punya penghasilan lebih, maksudnya setelah digunakan buat keperluan rutin dan tabungan darurat sudah ada, akan dipakai sebagian untuk kesenangan yang bersifat konsumtif seperti membeli barang branded dan berwisata, sebagian untuk hal yang produktif berupa investasi.

Investasi tersebut contohnya membeli saham, obligasi, reksadana, atau membuka usaha sendiri seperti berjualan secara online, punya kos-kosan, dan sebagainya. Dengan investasi yang tepat, kekayaan seseorang akan semakin berkembang.

Nah, dengan prinsip cash is the king dalam rangka menghadapi datangnya resesi, tentu maksudnya porsi konsumsi dan investasi dikurangi dulu, dialihkan ke tabungan. 

Salah satu ciri kondisi resesi adalah bila harga saham yang diperdagangkan di bursa, kalau di negara kita adalah Bursa Efek Indonesia (BEI), menurun tajam. Demikian juga harga instrumen keuangan lainnya seperti obligasi dan reksadana.

Perusahaan banyak yang bangkrut. Kredit macet di bank melonjak tak terkendali. Perusahaan akan melego asetnya dengan harga murah. Aset yang jadi agunan dari peminjam yang menunggak, oleh bank akan dilelang.

Pada saat seperti itulah mereka yang punya fresh money mampu membeli aset dengan harga sangat murah. Mereka yang melego asetnya akan memilih pembeli yang mau membayar secara tunai ketimbang menjual dengan harga yang lebih tinggi tapi secara kredit. 

Jadi, uang tunai betul-betul seperti raja. Bahkan kalau dalam situasi normal, tabungan sama kedudukannya dengan uang tunai karena bisa diambil sewaktu-waktu, dalam kondisi resesi bisa saja tidak bernilai.

Contohnya ketika krisis moneter melanda Indonesia 1998, banyak bank yang collapse, dan penabung di bank tersebut sangat sulit mengambil uangnya. Ketika itu belum ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seperti sekarang.

Pertanyaannya, apakah membeli saham dan aset yang dijual murah tersebut akan menguntungkan? Orang lain pada menjual, kenapa harus melawan arus dengan bertindak menjadi pembeli?

Bagi yang pernah belajar pengantar ilmu ekonomi, tentu ingat ada yang namanya konjungtur atau siklus ekonomi. Ketika siklusnya telah sampai di titik terendah seperti saat resesi, setelah itu pasti akan bergerak naik. 

Hanya memang tidak gampang mengetahui sampai level mana titik terendah itu. Saat kita menduga sudah menyentuh titik terendah, ternyata makin turun lagi. 

Makanya saham yang layak dibeli adalah saham perusahaan yang diprediksi bisa bangkit setelah resesi, seperti perusahaan yang terkait dengan bahan pangan, pakaian dan kebutuhan pokok lainnya.

Kelompok Usaha Salim Group ketika krisis moneter 1998 sangat terpukul. Banyak perusahaanya yang dilego murah, termasuk Bank Central Asia yang sekarang berpindah tangan diambil Djarum Group.

Namun ada satu perusahaan Salim, yakni Indofood yang tetap dipertahankan dan sekarang menjadi mesin uang yang membuat Salim Group kembali berkibar. 

Seorang konglomerat pernah menyampaikan pendapat dalam sebuah seminar bahwa ketika krisis moneter terjadi, harga saham terjun bebas. Ini ibarat berlian yang berserakan di jalan, tapi tak ada yang mengambil.

Kenapa saham murah itu tidak ada yang membeli? Ada dua kemungkinan, karena takut berliannya akan hancur atau karena tidak punya uang. Beruntunglah yang sudah menyiapkan uang dan bisa menyeleksi saham yang layak dibeli.

Sebetulnya, tanpa ada embel-embel mau resesi pun, menyiapkan dana adalah hal yang penting. Mau resesi atau tidak, rasanya gampang untuk menyimpulkan bahwa kas itu memang "raja". 

Hanya masalahnya bagi mayoritas kita di Indonesia, justru belum punya penghasilan yang berlebih. Bahkan untuk menutupi kebutuhan rutin saja bukan hal mudah.

Namun demikian, bagi yang bisa menabung secara rutin sesuai dengan kemampuannya, sebaiknya bersiap-siap untuk mengantisipasi datangnya resesi global.

Kalau bukan bermaksud untuk membeli saham, sekadar untuk berjaga-jaga dengan mengupayakan punya dana untuk keperluan darurat, itu sudah sangat bermanfaat, terlepas dari adanya resesi atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun