Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Tawaran Jabat Tangan Emas, Diambil atau Biarkan Saja?

7 November 2019   10:10 Diperbarui: 7 November 2019   10:16 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. marketing91.com

Entah terpengaruh dengan kondisi ekonomi global yang katanya bakal terjadi resesi, banyak perusahaan di negara kita yang diberitakan mengurangi jumlah karyawannya secara besar-besaran.

Seorang keponakan saya sudah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan asuransi berskala nasional. Ia kebetulan ditempatkan di kantor pusat perusahaan tersebut di kawasan Kuningan, Jakarta.

Minggu yang lalu, ia sengaja datang ke rumah saya untuk bertukar pikiran. Rupanya di kantornya lagi ada program golden handshake atau jabat tangan emas (selanjutnya ditulis JTE).

JTE dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi karyawan tanpa gejolak, karena sifatnya bukan paksaan. Bagi karyawan yang tertarik, akan mendapat kompensasi dalam jumlah yang menggiurkan. Di sinilah unsur "emas"-nya.

Betapa tidak menggiurkan, jumlah kompensasinya jauh di atas ketentuan pesangon yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Cukuplah untuk modal membuka usaha baru di tempat yang representatif. 

Hal pertama yang saya tanyakan pada sang keponakan adalah apa rencananya dengan uang JTE, kalau akhirnya itu yang menjadi pilihannya. Tampaknya ia cenderung untuk mengambil JTE, tapi sebelumnya ingin minta pendapat saya terlebih dahulu.

Tak ada jawaban spesifik atas pertanyaan saya itu, selain bermaksud sebagai modal usaha bagi suaminya yang telah tiga tahun berhenti sebagai tenaga outsourcing alias pekerja kontrak di sebuah perusahaan yang melayani pemeliharaan mesin ATM yang dipunyainya beberapa bank.

O ya saya lupa, si keponakan ini seorang perempuan, ibu dari tiga orang anak yang masih kecil, anak sulungnya baru berusia 7 tahun. Dulu kenapa si suami yang berhenti bekerja, karena pertimbangan karir si istri dengan status karyawan tetap yang lebih prospektif.

Maka jadilah si suami membuka usaha kuliner berbahan pisang di kios kecil dekat rumahnya, sehingga sekaligus bisa mengawasi anak-anaknya. Sayangnya usaha ini hanya bertahan beberapa bulan saja.

Kembali ke rencana si istri, bila nanti dapat JTE, ia akan mencari pekerjaan lagi. Sedangkan si suami akan menekuni bisnis, yang sayangnya seperti saya tulis di atas, belum bisa mengatakan secara spesifik, bisnis apa yang mau dibukanya.

Makanya wajar kalau saya merasa pesimis. Apalagi saya memang seorang yang bertipe konservatif. Maksudnya sering mempertimbangkan faktor risiko yang berpotensi muncul, bukan tipe agresif yang suka petualangan.

Tapi saya tidak ingin memperlihatkan wajah pesimis tersebut. Toh pada akhirnya mereka berdualah yang akan mendulang hasilnya atau menanggung risikonya. 

Saya hanya memberikan gambaran pahit manisnya berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman saya saat bekerja di sebuah perusahaan milik negara.

Ceritanya, pada tahun 1999, perusahaan tempat saya mengabdi yang kinerjanya menurun tajam karena pukulan krisis moneter, melakukan program JTE. Sosialisasi atas program ini dilakukan jauh-jauh hari agar para karyawan dapat mempertimbangkan dengan matang.

Saya karena bertipe konservatif itu tadi, sama sekali tidak tertarik. Apalagi saya juga baru mendapat promosi, tentu ingin menikmati kursi baru dulu.

Tapi karyawan lain banyak yang menyambut dengan antusias, tergiur kompensasi yang besar. Sebetulnya, yang disasar perusahaan adalah karyawan yang memang dinilai berkinerja biasa-biasa saja. Bahkan diam-diam, karyawan yang berkinerja rendah, dibujuk oleh atasannya agar ikut.

Nah, dugaan saya, JTE sekaligus menjadi ajang seleksi agar nantinya perusahaan bergerak lebih lincah dengan jumlah karyawan yang ramping tapi berkinerja tinggi. 

Maka setelah program JTE kelar, kemungkinan besar kondisi perusahaan akan membaik dan gaji karyawan pun dinaikkan secara signifikan, tidak kalah dengan perusahaan pesaing.

Alhamdulillah, dugaan saya belakangan terbukti. Tahun 2000 terjadi pergantian direksi. Direksi baru tak mau berpolemik "mana yang duluan, ayam atau telur", langsung menghajar dengan memberikan kenaikan gaji dan metode pemberian bonus yang lebih menantang.

Soalnya, direksi sebelumnya selalu berpikir, bila gaji naik, laba perusahaan jadi berkurang. Sedangkan direksi baru sangat yakin, karyawan yang happy akan berlipat ganda semangat kerjanya. Pada gilirannya pasti akan membuat laba perusahaan meningkat luar biasa.

Tahu apa akibatnya? Sebagian besar mereka yang mengambil program JTE merasa menyesal, terutama yang memang oleh atasannya sempat dirayu untuk bertahan karena kinerjanya baik. 

Beberapa karyawan yang kurang disukai atasan, tentu lain ceritanya. Mereka seperti tak punya pilihan lain karena setengah dipaksa untuk keluar dari perusahaan.

Hanya segelintir, mungkin sekitar 10 sampai 20 persen saja yang makin sejahtera setelah dapat JTE. Ada yang sukses berbisnis karena sebelumnya juga diam-diam sudah merintis usaha sendiri disela-sela kesibukannya di kantor.

Ada pula yang berhasil mendapatkan pekerjaan baru dengan posisi yang lebih tinggi ketimbang posisi yang ditinggalkannya di perusahaan lama.

Sedangkan sebagian besar mengalami nasib yang tidak seperti yang mereka harapkan. Rata-rata mereka berbisnis dengan gaya trial and error alias coba-coba.

Banyak juga yang dapat pekerjaan kantoran lagi, namun dengan posisi dan gaji yang lebih rendah. Yang paling parah, adalah mereka yang berfoya-foya dengan uang JTE, setelah itu bekerja serabutan agar dapur tetap ngebul.

Nah itulah yang saya ceritakan pada sang keponakan. Saya tidak mau menyimpulkan sesuatu, biarkan mereka berdua yang menyimpulkan dan mengambil keputusan.

Pas pasangan suami istri itu pamit, tak lupa saya mengatakan bahwa saya mendukung apapun yang dipilihnya dan berdoa semoga masa depannya lebih cerah dan penuh berkah dari Sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun