Tapi saya tidak ingin memperlihatkan wajah pesimis tersebut. Toh pada akhirnya mereka berdualah yang akan mendulang hasilnya atau menanggung risikonya.Â
Saya hanya memberikan gambaran pahit manisnya berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman saya saat bekerja di sebuah perusahaan milik negara.
Ceritanya, pada tahun 1999, perusahaan tempat saya mengabdi yang kinerjanya menurun tajam karena pukulan krisis moneter, melakukan program JTE. Sosialisasi atas program ini dilakukan jauh-jauh hari agar para karyawan dapat mempertimbangkan dengan matang.
Saya karena bertipe konservatif itu tadi, sama sekali tidak tertarik. Apalagi saya juga baru mendapat promosi, tentu ingin menikmati kursi baru dulu.
Tapi karyawan lain banyak yang menyambut dengan antusias, tergiur kompensasi yang besar. Sebetulnya, yang disasar perusahaan adalah karyawan yang memang dinilai berkinerja biasa-biasa saja. Bahkan diam-diam, karyawan yang berkinerja rendah, dibujuk oleh atasannya agar ikut.
Nah, dugaan saya, JTE sekaligus menjadi ajang seleksi agar nantinya perusahaan bergerak lebih lincah dengan jumlah karyawan yang ramping tapi berkinerja tinggi.Â
Maka setelah program JTE kelar, kemungkinan besar kondisi perusahaan akan membaik dan gaji karyawan pun dinaikkan secara signifikan, tidak kalah dengan perusahaan pesaing.
Alhamdulillah, dugaan saya belakangan terbukti. Tahun 2000 terjadi pergantian direksi. Direksi baru tak mau berpolemik "mana yang duluan, ayam atau telur", langsung menghajar dengan memberikan kenaikan gaji dan metode pemberian bonus yang lebih menantang.
Soalnya, direksi sebelumnya selalu berpikir, bila gaji naik, laba perusahaan jadi berkurang. Sedangkan direksi baru sangat yakin, karyawan yang happy akan berlipat ganda semangat kerjanya. Pada gilirannya pasti akan membuat laba perusahaan meningkat luar biasa.
Tahu apa akibatnya? Sebagian besar mereka yang mengambil program JTE merasa menyesal, terutama yang memang oleh atasannya sempat dirayu untuk bertahan karena kinerjanya baik.Â
Beberapa karyawan yang kurang disukai atasan, tentu lain ceritanya. Mereka seperti tak punya pilihan lain karena setengah dipaksa untuk keluar dari perusahaan.