Orang bijak taat pajak
Begitu bunyi tagline dari Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai warga negara yang baik, meskipun membayar pajak bukan hal yang disukai, kita wajib mematuhi karena berkaitan dengan kelangsungan pembangunan di negara tercinta ini.
Dalam tulisan ini, untuk memudahkan, segala macam pembayaran buat pemerintah, dianggap saja sebagai pajak. Padahal secara hukum ada perbedaan antara pajak, retribusi, atau jenius iuran lainnya. Demikian pula pihak yang memungut, ada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga lainnya.
Kebijakan perpajakan di negara kita sudah banyak mengalami perubahan. Satu hal yang pasti, ketentuan pajak harus mengikuti perkembangan zaman.Â
Sekarang pemerintah sedang berusaha keras bagaimana pajak terhadap perdagangan secara elektronik bisa dipungut. Yang lebih rumit lagi, bagaimana memajaki unicorn asing yang penggunanya banyak sekali di Indonesia, seperti Google, Facebook, dan sebagainya.
Jelas unicorn tersebut mendapat keuntungan yang besar dari penggunaannya di Indonesia, termasuk dari iklan produk atau jasa yang dipasarkan di Indonesia.
Seperti apa hasil perjuangan pemerintah, masih perlu kita tunggu. Apabila berhasil, tentu akan sangat membantu menambah pemasukan negara, sehingga jumlah utang kita tidak harus selalu bertambah untuk membiayai defisit anggaran.
Saya teringat waktu saya kecil, mungkin sekitar akhir dekade 1960-an, ketika saya sering dibonceng ayah naik sepeda jalan-jalan ke pasar kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Suatu kali, para pengendara sepeda yang bertujuan ke arah pasar, banyak yang putar balik. Ternyata ada razia pajak sepeda. Bila ada pengendara sepeda yang belum membayar, yang ditunjukkan dengan stiker yang tertempel di bagian depan sepeda, akan dipaksa untuk membayar. Kalau tidak, sepedanya ditahan oleh aparat.
Ayah saya dengan aman mengayuh sepeda karena bisa memperlihatkan stiker pembayarannya. Bahkan stikernya ada beberapa buah, karena yang tahun-tahun sebelumnya pun belum dilepas.
Sampai tahun 1970-an sepeda menjadi alat transportasi yang paling banyak dipakai masyarakat buat aktivitas sehari-hari seperti ke kantor, ke sekolah, atau ke pasar bagi para pedagang.
Kemudian sejak motor menjamur mulai dekade 1980-an, banyak orang yang malu dan enggan pakai sepeda karena identik dengan orang miskin. Akhirnya pajak sepeda pun tidak lagi dipungut.
Kembali ke ayah saya, saya merasa bangga karena beliau sangat patuh dalam membayar kewajiban buat negara, meskipun penghasilan yang diterima ayah sebagai pedagang kecil di Pasar Payakumbuh, terbilang pas-pasan saja.
Bukti kalau pas-pasan, ketika para tetangga sudah pada punya motor pada dekade 1980-an, kami masih setia pakai sepeda. Atau kalau lagi malas naik sepeda, harus naik delman yang belakangan berganti dengan angkot.
Tapi saya bersyukur ketika di Sumbar siaran televisi sudah dapat diterima tahun 1977, setahun setelah itu, ayah saya, entah bagaimana caranya, mampu memiliki kotak ajaib itu, tentu masih berupa televisi hitam putih.
Ternyata kepemilikan televisi tersebut harus didaftarkan di kantor pos untuk dapat semacam kartu yang seukuran satu lembar buku.Â
Kartu tersebut punya dua belas kotak yang setiap kotak ada tulisan nama bulan dalam satu tahun. Gunanya adalah untuk membayar iuran televisi yang dipungut setiap bulan.
Saya sering ditugaskan ayah untuk membayar iuran televisi tersebut ke kantor pos. Biasanya saya menyetor untuk tiga bulan sekaligus, sehingga dapat tiga striker sebesar perangko yang ditempelkan di kartu kepemilikan televisi.
Bagi yang sering menunggak iuran televisi, harus siap-siap ditagih termasuk dendanya, bila ada razia dari aparat yang berkunjung dari rumah ke rumah.
Sulit untuk menyembunyikan televisi kalau ada razia, karena waktu itu televisi harus dilengkapi dengan antena setinggi pohon kelapa. Dari jauh pun sudah ketahuan rumah mana saja yang punya televisi.
Dari cerita ayah saya, sebelum itu juga ada pajak radio, yang mekanisme pungutannya sama dengan pajak televisi. Tapi seingat saya, ketika saya kecil, pajak radio tersebut sudah tidak lagi diberlakukan.
Sedangkan iuran televisi, diam-diam tidak lagi dipungut setelah TVRI tidak menjadi pemain tunggal. Memang dulunya iuran tersebut sebagian dialokasikan untuk membantu biaya operasional TVRI. Wajar saja, karena masyarakat menonton TVRI, mbok ya bayar. Toh TVRI tidak lagi diperkenankan menayangkan iklan sejak tahun 1982.
Tapi setelah RCTI muncul tahun 1989, disambung oleh SCTV tahun 1990, dan banyak lagi yang lainnya setelah itu, masyarakat tidak lagi menonton TVRI. Tentu tidak relevan bila masih memungut iuran TVRI.
Demikian sekelumit kenangan masa kecil saya tentang pajak. Paling tidak, saya bermaksud mengingatkan bahwa kita tidak perlu buru-buru mengatakan pemerintah sudah keterlaluan bila sedikit-sedikit mengenakan pajak. Memang dari sono-nya begitu. Toh sepanjang tidak dikorupsi, manfaatnya akan kembali ke rakyat dari hasil pembangunan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI