Ironisnya, untuk membuat selembar surat memerlukan waktu yang relatif lama. Dikonsep oleh staf, diperiksa oleh atasan si staf, diperiksa lagi oleh atasan dari atasannya si staf, baru sampai di meja pejabat yang berhak menandatangani.Â
Sebelum ditandatangani, si pejabat pasti melihat sudah berapa buah paraf di bagian bawah surat tersebut, sebagai tanda telah diperiksa secara berjenjang oleh pejabat di bawahnya.
Bayangkan bila para atasan di atas sedang tidak tidak di tempat, lagi melakukan kunjungan kerja misalnya, tentu akan semakin menghambat proses pengambilan keputusan.Â
Masalah lain, bisa pula terjadi, karena percaya dengan banyaknya paraf di bagian bawah surat, pejabat yang berwenang main tanda tangan saja, tanpa membaca kata per kata surat tersebut.
Jelaslah, betapa lambannya prosedur administrasi kita, padahal sekarang banyak sarana untuk mempercepat. Tapi persetujuan melalui pembicaraan lisan per telepon atau pesan singkat melalui hape, pakai email, dan cara kekinian lainnya, tetap dianggap belum kuat dasarnya.
Anehnya, seperti yang terjadi di perusahaan negara, bila ada pejabat pusat yang mendadak datang berkunjung, pihak protokol di daerah gampang saja mengeluarkan biaya untuk menjamu, karena ada dana representatif sebagai bekal.
Maka bila Presiden Jokowi sering mendengungkan soal revolusi mental, revolusi administrasi pun perlu menjadi bagiannya. Kelihatannya soal remeh temeh, namun menyebalkan, membuat pekerjaan tidak efektif dan tidak efisien.
Semoga saja saat tulisan ini ditayangkan, para korban gempa di Maluku sudah mendapatkan bantuan sebagaimana mestinya. Jangan sampai habis kesabarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H