Sayangnya, berita demonstrasi di Papua tenggelam oleh berita demonstrasi mahasiswa terhadap DPR. Padahal dilihat dari sisi jumlah korban, yang di Papua jelas lebih banyak dan sungguh tak bisa dipandang enteng.
Saat korban masih 26 orang, dari berita detik.com (25/9/2016) didapat keterangan bahwa 22 di antaranya adalah pendatang. Kemudian menurut jawapos.com (25/9/2019), ada 9 orang pendatang asal Minangkabau yang menjadi korban. Terhadap korban para perantau Minang itu, Pemprov Sumbar akan menanggung biaya pemulangan jenazah ke kampung halamannya.Â
Dapat dibayangkan betapa mencekamnya situasi yang dihadapi oleh para pendatang di Wamena, sehingga mereka terpaksa tinggal di tempat pengungsian seperti di komplek militer. Banyak pula yang menghindar dengan terbang ke Jayapura. Selain itu masih banyak yang minta dievakuasi ke luar Wamena.
Padahal, aktivitas perekonomian di Papua pada umumnya, atau di Wamena pada khususnya, masih sangat bergantung pada pendatang. Yang berjualan di toko-toko, yang membuka restoran, yang menjadi tukang ojek, dan berbagai jenis pekerjaan lainnya, banyak diisi oleh pendatang.
Bahkan yang menjadi karyawan di kantor perusahaan swasta atau BUMN, rata-rata adalah kaum pendatang. Hanya di kantor pemda yang warga asli terlihat dominan.
Dari tayangan di televisi tampak bahwa kota Wamena sudah relatif maju. Kantor bupatinya besar dan megah berada di jalan protokol yang amat lebar. Ruko-rukonya juga banyak. Tentu tanpa pendatang, Wamena jadi sepi.
Hanya saja harus diakui, ketergantungan yang tinggi pada pendatang bak pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi faktor pendukung kemajuan, tapi di sisi lain menjadi faktor pencetus kecemburuan.Â
Harus diakui, distribusi "kue" ekonomi masih tidak seimbang, di mana kaum pendatang mendapat lebih besar. Tapi kalau didengar suara pendatang, hal itu semata-mata karena penduduk asli malas dalam berusaha.Â
Tentu juga jangan diabaikan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan di Papua pada umumnya, semakin membuat penduduk asli banyak yang jadi penonton saja.Â
Terlalu banyak PR bagi pemerintah, yang ironisnya datang secara bersamaan. Masalah aspirasi masyarakat terkait perundang-undangan dan masalah kabut asap sudah menguras energi, namun masalah Papua lebih pelik lagi.
Penanganan Papua yang pas porsinya sangat diperlukan. Tidak terlalu keras tapi butuh ketegasan. Bayangkan kalau ada jatuh korban di pihak warga asli, lalu beritanya digoreng sedemikian rupa, akan semakin sulit buat mengendalikan gelombang protes masyarakat Papua.