Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kerusuhan di Wamena Telan 30 Korban Jiwa, Beritanya Tenggelam oleh Demo Mahasiswa

26 September 2019   07:46 Diperbarui: 26 September 2019   07:51 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Cendrawasih Pos

Demonstrasi mahasiswa yang terjadi di hampir semua kota besar di tanah air dalam tiga hari terakhir ini telah menyita perhatian publik. Yang menjadi sasaran adalah gedung DPR di Jakarta atau gedung DPRD di masing-masing kota tempat demonstrasi berlangsung.

Di beberapa kota terjadi pelemparan yang mengakibatkan pecahnya kaca di gedung DPRD. Bahkan di Padang, para mahasiswa berhasil menduduki kantor DPRD Sumbar dan melakukan sejumlah pengrusakan.

Di Jakarta sendiri, gerbang masuk tol dibakar massa, meskipun diduga yang melakukannya bukan lagi mahasiswa, tapi ada kelompok yang sengaja membonceng aksi mahasiswa. Banyak pula pelajar SMA atau SMK yang ikut-ikutan demo.

Gelombang demonstrasi mahasiswa kali ini tergolong dahsyat, yang terbesar dalam 20 tahun terakhir, setelah demo yang berhasil menurunkan Presiden Soeharto tahun 1998 lalu. Wajar kalau perhatian media massa terpusat ke sini.

Namun ada peristiwa lain yang tidak boleh luput dari perhatian kita yakni demonstrasi yang berujung dengan kerusuhan massa yang terjadi di Wamena, Papua. 

Berita TVRI, Rabu sore (25/9/2019) menyebutkan peristiwa di Wamena tersebut telah menelan korban nyawa sebanyak 29 orang. Belum lagi kalau dihitung banyaknya kantor yang dibakar massa.

Kemudian sekitar dua jam setelah itu, dari running text di televisi, tertulis korbannya sudah meningkat lagi menjadi 30 orang. Bisa jadi saat tulisan ini tayang di Kompasiana, jumlah korban sesungguhnya sudah bertambah pula.

Sebelumnya, pada hari demonstrasi terjadi yang dipicu oleh berita yang beredar bahwa seorang guru melakukan tindakan rasial, Senin (25/9/2019) yang lalu, jumlah korban disebutkan 17 orang. 

Tapi kemudian saat pembersihan area bekas kericuhan, ditemukan lagi beberapa mayat. Sedangkan terkait berita tindakan rasialis, setelah dicek pihak berwajib, ternyata tidak ada, tapi sengaja dihembuskan buat memancing kerusuhan.

Kuat dugaan adanya oknum yang sengaja melakukan penyebaran berita bohong tersebut, karena berharap akan meraih perhatian dunia dan selanjutnya menginginkan isu Papua akan dibahas pada sidang umum PBB.

Jadi jelaslah, tensi politik yang menghangat di Papua yang awalnya bermula dari tindakan rasialis yang ditujukan bagi mahasiswa Papua di Surabaya lebih sebulan yang lalu, masih belum selesai. Malah dikhawatirkan makin berkembang jadi bola liar.

Sayangnya, berita demonstrasi di Papua tenggelam oleh berita demonstrasi mahasiswa terhadap DPR. Padahal dilihat dari sisi jumlah korban, yang di Papua jelas lebih banyak dan sungguh tak bisa dipandang enteng.

Saat korban masih 26 orang, dari berita detik.com (25/9/2016) didapat keterangan bahwa 22 di antaranya adalah pendatang. Kemudian menurut jawapos.com (25/9/2019), ada 9 orang pendatang asal Minangkabau yang menjadi korban. Terhadap korban para perantau Minang itu, Pemprov Sumbar akan menanggung biaya pemulangan jenazah ke kampung halamannya. 

Dapat dibayangkan betapa mencekamnya situasi yang dihadapi oleh para pendatang di Wamena, sehingga mereka terpaksa tinggal di tempat pengungsian seperti di komplek militer. Banyak pula yang menghindar dengan terbang ke Jayapura. Selain itu masih banyak yang minta dievakuasi ke luar Wamena.

Padahal, aktivitas perekonomian di Papua pada umumnya, atau di Wamena pada khususnya, masih sangat bergantung pada pendatang. Yang berjualan di toko-toko, yang membuka restoran, yang menjadi tukang ojek, dan berbagai jenis pekerjaan lainnya, banyak diisi oleh pendatang.

Bahkan yang menjadi karyawan di kantor perusahaan swasta atau BUMN, rata-rata adalah kaum pendatang. Hanya di kantor pemda yang warga asli terlihat dominan.

Dari tayangan di televisi tampak bahwa kota Wamena sudah relatif maju. Kantor bupatinya besar dan megah berada di jalan protokol yang amat lebar. Ruko-rukonya juga banyak. Tentu tanpa pendatang, Wamena jadi sepi.

Hanya saja harus diakui, ketergantungan yang tinggi pada pendatang bak pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi faktor pendukung kemajuan, tapi di sisi lain menjadi faktor pencetus kecemburuan. 

Harus diakui, distribusi "kue" ekonomi masih tidak seimbang, di mana kaum pendatang mendapat lebih besar. Tapi kalau didengar suara pendatang, hal itu semata-mata karena penduduk asli malas dalam berusaha. 

Tentu juga jangan diabaikan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan di Papua pada umumnya, semakin membuat penduduk asli banyak yang jadi penonton saja. 

Terlalu banyak PR bagi pemerintah, yang ironisnya datang secara bersamaan. Masalah aspirasi masyarakat terkait perundang-undangan dan masalah kabut asap sudah menguras energi, namun masalah Papua lebih pelik lagi.

Penanganan Papua yang pas porsinya sangat diperlukan. Tidak terlalu keras tapi butuh ketegasan. Bayangkan kalau ada jatuh korban di pihak warga asli, lalu beritanya digoreng sedemikian rupa, akan semakin sulit buat mengendalikan gelombang protes masyarakat Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun