Kalau dicermati, banyak perusahaan kelas menengah ke atas yang merasa perlu memiliki beberapa anak perusahaan, baik dengan cara mendirikan perusahaan baru, maupun dengan mengakuisisi (membeli) perusahaan yang sudah ada.Â
Dalam perkembangannya, anak perusahaan juga banyak yang bikin anak lagi, alias menjadi cucu dari induknya. Tapi hubungan induk-anak-cucu, karena berupa garis lurus, masih termasuk pola yang sederhana.
Pola yang lebih rumit adalah hubungan antar perusahaan yang tidak linier karena hubungannya bersifat diagonal atau kepemilikan secara silang. Ada pula yang sulit dipolakan karena melibatkan hubungan dengan saudara "sepupu", "keponakan", dan sebagainya.
Sepertinya, dalam beberapa kasus, hubungan antar perusahaan yang bersaudara sengaja disamarkan agar tidak gampang dilacak. Tujuannya bisa untuk menyembunyikan aset, atau sebaliknya untuk menggelembungkannya.Â
Gampang ditebak, menyembunyikan aset berkaitan dengan penghindaran pajak. Sedangkan penggelembungan aset biasanya untuk menaikkan citra perusahaan agar harga sahamnya meroket atau dapat kemudahan meminjam dalam jumlah besar ke bank.
Pola hubungan antar perusahaan dalam satu grup konglomerasi, akan menjadi semakin rumit bila melibatkan perusahaan yang didaftarkan sebagai badan usaha di luar negeri. Hal ini berkaitan dengan hukum yang berbeda.Â
Beberapa negara sangat terkenal sebagai surga bagi investor yang ingin terjaga kerahasiaan hasil usahanya dan sekaligus memberikan fasilitas keringanan pajak yang sangat signifikan.Â
Contohnya adalah Cayman Island, Singapura, Swiss, Hongkong, Uni Emirat Arab, Luxemburg, dan sebagainya.
Banyak perusahaan yang bergerak di Indonesia namun induknya terdaftar di salah satu negara di atas. Untuk hal seperti ini, ada istilah transfer pricing sebagai bagian dari rekayasa keuangan.
Dengan rekayasa seperti itu anak perusahaan yang berada di dalam negeri dibuat seolah-olah menderita kerugian sehingga tidak terkena pajak penghasilan. Atau kalaupun memperoleh laba, dibuat seminimal mungkin, tentu kewajiban pajaknya juga kecil.
Sedangkan induknya di luar negeri akan menuai keuntungan besar. Dengan tarif pajak di negara-negara tertentu di atas yang sangat rendah, laba yang besar itu tadi tidak bakal mengandung kewajiban perpajakan yang memberatkan perusahaan.
Namun tidak bisa dipukul rata bahwa tujuan pendirian anak perusahaan pasti berkaitan dengan rekayasa keuangan yang jelas tidak sehat bila dilihat dari prinsip good corporate governance (GCG).
Sebagai contoh, Â pendirian anak perusahaan yang terjadi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), secara umum bertujuan untuk menghasilkan sinergi bisnis.Â
Belum lama ini, Jiwasraya, sebuah BUMN yang bergerak di bidang asuransi jiwa dan tengah terlilit kesulitan likuiditas, mendirikan anak perusahaannya yang dinamakan Jiwasraya Putra.
Dengan anak perusahaan tersebut yang juga didukung oleh beberapa BUMN lain, yakni Bank Tabungan Negara (BTN), Kereta Api Indonesia, dan Telkomsel, diharapkan akan bergerak lebih lincah mencari nasabah.Â
Soalnya kalau pakai nama induk perusahaannya, sudah sulit mendapat kepercayaan karena masih banyak klaim nasabah lamanya yang jatuh tempo, belum dibayarkan. Tentu "dosa" masa lalu induknya harus diputus dan tidak menodai si anak.
Kalau nanti si anak menuai untung, maka akan mengucur dana berupa dividen dari anak ke induknya. Dengan cara seperti ini perlahan-lahan si induk bisa berdarah kembali, bahkan lama-lama diharapkan akan sembuh dari sakit parahnya.
Contoh lain, dalam rangka merebut pangsa pasar pembayaran non tunai melalui aplikasi, atau disebut juga dompet digital, beberapa BUMN bersepakat membentuk satu perusahaan yang menjual produk LinkAja.Â
BUMN dimaksud terdiri dari BRI, BNI, Bank Mandiri, dan Telkom, yang sebetulnya sudah mengembangkan aplikasi sistem pembayaran masing-masing.
Tapi karena secara individu setiap perusahaan di atas kedodoran melawan penguasa pasar seperti Gopay dan OVO, maka menghimpun kekuatan bersama, layak dicoba. Memang sebuah perusahaan bisa saja punya beberapa induk seperti itu.
Masih cerita di lingkungan BUMN, apakah anda mengira mobil mewah yang dipakai pejabat bank pelat merah atau gedung kantor yang megah merupakan milik bank itu sendiri?
Setelah diteliti, ternyata masing-masing bank membentuk anak perusahaan yang bergerak di bidang leasing kendaraan dan gedung kantor. Dengan demikian pihak bank tidak capek mengurus pemeliharaannya.
Ada pula bank yang mendirikan anak perusahaan untuk menampung penunggak kreditnya. Seperti diketahui, yang paling ditakutkan oleh manajemen bank adalah tingkat kredit macet yang tinggi.
Namun cara "menjual" kredit macet ke anak perusahaan sendiri, agak rawan disalahtafsirkan sebagai rekayasa keuangan dalam rangka menyembunyikan kerugian.
Berbicara tentang modus rekayasa keuangan dengan memanfaatkan anak perusahaan, yang paling sering dijadikan referensi adalah kasus yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2001 dengan bangkrutnya perusahaan Enron.
Kasus Enron ringkasnya adalah melakukan mark up atas pendapatannya dan menyembunyikan utangnya dengan membentuk perusahaan khusus berupa special purpose entity yang laporannya tidak dikonsolidasikan dengan Enron sebagai induk. Â
Rekayasa akuntansi yang canggih tersebut dibantu oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengauditnya, Arthur Andersen. Setelah kejadian itu Andersen tidak lagi dibolehkan otoritas setempat untuk beroperasi.
Kemudian asosiasi akuntan yang diakui secara internasional memperketat aturan tentang kewajiban membuat laporan keuangan yang harus dikonsolidasikan dalam sebuah grup konglomerasi.
Kewajiban mengkonsolidasikan laporan keuangan tersebut juga diadopsi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berlaku untuk semua konglomerasi keuangan di Indonesia.
OJK tentu saja tidak ingin kecolongan. Dulu, waktu pengawasan bank masih di tangan Bank Indonesia, pernah terjadi kebangkrutan Bank Summa tahun 1992.
Bank yang dimiliki Edward Soeryadjaya itu akhirnya memakan korban bapaknya sendiri, William Soeryadjaya. William yang merupakan pendiri perusahaan Astra, harus melepaskan sahamnya di Astra demi menyelamatkan anaknya yang akhirnya tetap tidak tertolong.
Maka kalau sekarang Astra makin berkembang, keluarga Soeryadjaya hanya mengenang sebagai nostalgia semata. Astra sendiri tetap kinclong karena dikelola oleh para profesional, terlepas dari siapa pun pemegang sahamnya.
Kisah tragis lepasnya Astra dari keluarga Soeryadjaya, hampir terulang pada keluarga Liem Soei Liong yang mendirikan kerajaan bisnis Salim Group.
Terhuyung-huyung gara-gara krisis moneter tahun 1998, aset Salim banyak disita negara, termasuk Bank Central Asia. Tapi dengan cerdik Anthoni Salim, sang putra mahkota, berhasil mempertahankan salah satu anak perusahaan Salim Group, yakni Indofood.
Insting bisnis Anthoni memang tajam. Tahu bahwa bisnis makanan tak ada matinya, dengan produk mi instan yang merambah berbagai penjuru dunia, lewat Indofood kerajaan bisnis Salim Group kembali berkibar.
Itulah sedikit kupasan tentang bagaimana jatuh bangun dari konglomerasi. Bagi publik, sepanjang bisnis dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak mengelabui masyarakat dengan laporan keuangan yang direkayasa, tentu baik-baik saja adanya.Â
Apalagi bila konglomerasi itu menciptakan lapangan kerja yang luas dan menghidupi banyak usaha kecil yang menjadi pemasok. Masyarakat jangan diberi peran sebagai konsumen semata-mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H