Sewaktu berada di ruang tunggu Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Jumat (20/9/2019) yang lalu, saya mengisi waktu dengan membaca majalah yang disediakan di rak khusus.Â
Sayangnya tak ada pilihan, meski ada banyak majalah, namun semuanya sama yakni "Buletin Parlementaria". Hanya edisinya yang berbeda-beda. Tampaknya buletin ini terbit setiap dua minggu.
Saya harus mengakui bahwa pihak yang menangani hubungan masyarakat (Humas) di DPR cukup gencar dalam menyebarkan informasi seputar kegiatan DPR.
Soalnya saya sudah sering menemukan buletin yang diterbitkan Humas DPR di atas di banyak ruang tunggu, tidak hanya di bandara. Bahkan di saat instansi lain tidak disiplin dalam menyebarkan buletinnya, DPR melakukannya dengan tertib.
Selain itu, karena saya sering menonton berita dari berbagai stasiun televisi nasional, saya tahu bahwa DPR membuat tayangan berita khusus seputar kegiatan yang telah dilaksanakannya, dan menyelipkannya pada siaran berita. Nama program ini, kalau tidak keliru adalah Warta Parlemen.
Dugaan saya DPR memasang advetorial di televisi, yang dibungkus bergaya berita. Tentu ini tujuannya untuk menaikkan citra DPR sebagai lembaga negara yang mewakili aspirasi rakyat.
Masalahnya kenapa masyarakat terkesan kurang peduli dengan publikasi yang dilakukan DPR? Buktinya dari puluhan orang yang ada di ruang tunggu E6, Terminal 2E Bandara Soekarno Hatta, Jumat kemarin tersebut, sama sekali tidak ada yang melirik Buletin Parlementaria.
Hanya saya saja yang membolak-balik buletin itu. Makanya saya tahu kalau DPR baru saja mengadakan lomba komedi stand up. Pada lomba yang menurut saya langka diadakan oleh instansi pemerintah itu, peserta ditantang memberikan kritik sehat kepada DPR.
Tampaknya DPR menerima cara kritik yang dibungkus komedi. Kalau didemo, apa lagi dicaci maki, mungkin dianggap tidak pantas ditujukan pada anggota dewan yang terhormat.
Baik, saya pribadi merasa salut bahwa usaha DPR untuk mendekatkan diri pada rakyat, terlihat telah dilakukan dengan banyak cara. Tapi saya tidak habis pikir, kesan saya citra DPR di mata masyarakat masih tetap rendah. Itulah dugaan saya kenapa masyarakat kurang peduli pada informasi yang disampaikan DPR.
Apalagi akhir-akhir ini DPR seperti menantang arus dengan secepat kilat memproduksi beberapa rancangan undang-undang yang kontroversial karena ditentang masyarakat.
Gaya kilat penyusunan RUU ala DPR di akhir masa bakti itu malah memicu aksi demo ribuan mahasiswa di semua kota besar dua hari terakhir ini. Di Jakarta aksi demo mahasiswa ditunggangi pihak lain yang membuat kericuhan, Selasa malam (24/9/2019).
Padahal biasanya anggota DPR terkesan banyak yang mangkir saat rapat. Atau kalaupun hadir, malah ada yang tidur di ruang rapat. Ada pula yang suka bertanya secara keras ke narasumber yang diundang, tapi ketika dijawab, si penanya sudah ngelayap  keluar ruangan.
Kesan lain terhadap anggota DPR adalah suka pamer kekayaan. Konon di halaman parkirnya bak arena pameran mobil mewah. Jika melihat gaji dan fasilitasnya yang besar, gaya bermewah-mewah itu mungkin wajar saja, meskipun kurang elok dipertontonkan.Â
Tapi menjadi tidak wajar bila masih ada anggota DPR yang terkena OTT KPK. Ini pula barangkali yang membuat DPR geram dengan KPK. Namun perlawanan DPR terhadap KPK justru membuat DPR semakin berjarak dengan rakyat yang diwakilinya, karena rakyat lebih percaya dengan KPK.
Citra lain yang terkesan negatif tentang anggota DPR adalah pada beberapa momen rapat, ada yang terlihat bertengkar secara emosional. Kalau begini, bukankah menghilangkan gaya sebagai orang terhormat, berganti dengan gaya preman?
Anehnya untuk pembahasan kenaikan gaji, pembangunan gedung baru, penambahan jumlah ketua, dan RUU yang kontroversial, semua anggota DPR kompak sekali menyetujuinya.
Kesimpulan saya, betapapun kerasnya usaha dari pihak Humas DPR, akan sia-sia bila tingkah anggotanya serta apa yang disuarakannya masih berbeda, bahkan bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat banyak.
Memoles citra itu penting, antara lain dengan cara menyebarkan buletin di tempat publik dan tampil dalam Warta Parlemen pada siaran berita televisi. Tapi yang paling penting justru mengubah perilaku agar mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Toh, informasi yang disebarkan DPR lebih bersifat satu arah. Arah lainnya yang lebih strategis agar DPR dinilai telah aspiratif adalah bagaimana mendengar dan menangkap kehendak rakyat. Inilah yang belum berhasil dilakukan DPR.
Hal ini terkonfirmasi dari berita Kompas (Senin, 23/9/2019) yang menyajikan hasil jajak pendapat Tim Litbang Kompas. Antara lain ditulis bahwa 62,8 persen responden merasa DPR belum aspiratif dalam hal merevisi UU KPK.
Selain itu, citra DPR juga dinilai buruk oleh 62,4 persen responden. Bahkan 66,2 persen mengatakan belum terwakili aspirasinya oleh parpol pilihannya sendiri.Â
Litbang Kompas yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan, mempertanyakan untuk siapa DPR bekerja? Inilah yang harus dijawab DPR, tidak hanya sekadar rajin menyebarkan informasi pada khalayak ramai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H