Kembali saya mendapati tempat wisata yang sepi. Penunggu di loket masuk pun seperti heran, hari gini kok ya ada juga orang yang kebelet ke taman bunga yang setelah saya masuk terlihat banyak area yang kering akibat kemarau.Â
Ada memang beberapa anak muda duduk di sebuah gazebo. Tapi beberapa gazebo lain tampak kosong. Demikian pula sederet warung makanan. Hanya mobil kerabat saya satu-satunya mobil yang parkir, walaupun pas kami mau keluar, ada satu mobil lagi yang masuk.
Setelah itu, saya masih sempat melihat objek baru, meskipun sebenarnya bukan untuk wisata, yakni klenteng terbesar di Riau. Cukup megah, tapi kalau saja bisa sebagus Sam Poo Kong di Semarang, pasti jadi objek wisata yang menarik, bukan sekadar tempat ibadah.
Saat di jalan menuju bandara, saya lama merenung, mencerna cerita kerabat saya tentang demo mahasiswa yang sangat ramai tiga hari sebelumnya di depan kantor gubernur. Menurut saya sangat wajar mahasiswa melakukan demonstrasi atas musibah ini.
Beberapa spanduk yang memprotes pemerintah yang dinilai lamban menangani kasus kabut asap tersebut masih terpajang di jembatan penyeberangan dan di persimpangan jalan.
Saya merasa bersalah karena sebelumnya tidak begitu tertarik mengikuti berita asap di media massa. Saya hanya membayangkan seperti polusi di Jakarta saja, sudah biasa.
Namun begitu saya mengalami langsung dengan menghirup udara Pekanbaru selama 24 jam, baru saya sadar betapa mahalnya udara segar itu. Saya berdoa semoga musibah ini cepat berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H