Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

24 Jam di Pekanbaru, Berwisata Diselimuti Kabut Asap

22 September 2019   09:09 Diperbarui: 22 September 2019   20:58 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya punya seorang adik yang bekerja dan tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Pekanbaru, Riau. Tentu ia tak lagi merasa asing dengan kabut asap yang menyelimuti kota minyak itu, karena menjadi hal rutin di setiap musim kemarau.

Tapi di tahun ini adik saya tersebut sekeluarga merasa mendapat blessing in disguise karena di balik musibah itu, sang adik yang kebetulan ada job selama seminggu di Manado, Sulawesi Utara, berkesempatan sekaligus membawa keluarganya. Soalnya sekolah di Pekanbaru telah dua minggu diliburkan, tanpa kepastian kapan akan masuk sekolah lagi.

Namun saya tidak tahu apakah berkah atau musibah, saya ada keperluan yang tak mungkin saya hindarkan untuk melakukan perjalanan dari tempat tinggal saya di Jakarta ke Pekanbaru.

Danau Buatan, jarak pandang sangat terbatas (dok pribadi)
Danau Buatan, jarak pandang sangat terbatas (dok pribadi)

Maka pada Jumat (20/9/2019) kemarin, sekitar jam 18.20 malam saya mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru. Selama 24 jam saya berada di ibu kota Provinsi Riau itu, karena sekitar jam 18.45 malam besoknya saya kembali lagi ke Jakarta.

Satu hal yang saya khawatirkan adalah bila jadwal penerbangan sesuai tiket yang sudah saya beli mengalami penundaan atau pengalihan pendaratan. Tapi syukurlah semua sesuai skedul.

Danau yang sepi (dok pribadi)
Danau yang sepi (dok pribadi)

Saya sudah siap dengan membawa masker dari jenis yang lebih tebal yang langsung saya pakai begitu mendarat di Pekanbaru. Ternyata hampir semua penumpang melakukan hal yang sama, memasang masker.

Apalagi dari balik kaca terminal kedatangan sudah terlihat kabut masih tebal. Tentu saja saya tidak ingin kesehatan jadi terganggu, meskipun saya hanya 24 jam di sana. Mudah-mudahan masker itu bisa membantu.

Soalnya dari berita yang saya ikuti, telah ada beberapa orang bayi yang meninggal di Pekanbaru. Menurut orang tua si bayi seperti yang diberitakan salah satu stasiun televisi, penyebab meninggalnya adalah karena menghirup asap. Tapi hal ini dibantah pemerintah setempat.

Suasana jalan protokol (dok pribadi)
Suasana jalan protokol (dok pribadi)

Tapi Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru tak bisa mengabaikan bahwa jumlah penderita penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) meningkat tajam. Makanya banyak warga kota yang mengungsi ke tempat kerabatnya di kota lain yang tidak terpapar asap.

Saya mendapati kota yang sepi. Para pedagang di pinggir jalan terlihat melamun menunggu pembeli. Jalanan yang biasanya macet sekarang dilalui dengan lancar. 

Berhubung perut saya mulai lapar, saya singgah dulu di restoran Ampera yang punya kapasitas tempat duduk yang banyak. Memang kata kerabat saya yang menjemput saya ke bandara, restoran yang menyediakan masakan Minang ini biasanya dipenuhi pelanggan. 

Masjid Abu Darda (dok pribadi)
Masjid Abu Darda (dok pribadi)

Namun ketika saya masuk, meskipun masih jam 7 malam, waktu ideal untuk makan malam, dari sekitar 25 meja (masing-masing punya 6 sampai 8 kursi), yang terisi hanya 2 meja. 

Sehabis makan, saya putuskan langsung menuju rumah adik saya yang lagi kosong, kecuali seorang asisten rumah tangga yang menunggui rumah. Dari kilauan lampu jalan, masih terlihat kabut tebal, tak kondusif untuk melakukan kegiatan, lebih baik istirahat.

Asrama pesantren (dok pribadi)
Asrama pesantren (dok pribadi)

Paginya sewaktu saya keluar rumah, masih saja kota diselimuti kabut asap. Jarak pandang agaknya sekitar 70 meter saja. Lebih jauh dari itu hanya tampak remang-remang. 

Tujuan pokok saya ke Pekanbaru adalah menemui seseorang yang telah menyapakati bertemu di Sabtu jam 9 pagi. Dari balik kaca mobil terlihat kabut semakin tebal.

Dok pribadi
Dok pribadi

Sampai di lokasi pertemuan yang terletak di batas kota, tapi sudah masuk Kabupaten Kampar, saat keluar mobil, saya mulai sedikit batuk. Mobil yang baru dicuci kembali berdebu. 

Selesai acara utama, saya punya waktu dari siang sampai sore untuk mengetahui lebih jauh seperti apa kondisi kota Pekanbaru secara langsung. Demi amannya, saya dinasehati kerabat saya untuk tetap pakai masker, meskipun lagi dalam mobil.

Sungai di belakang taman bunga (dok pribadi)
Sungai di belakang taman bunga (dok pribadi)

Saya mencari tempat makan siang di sekitar Jalan Kaharudin Nasution. Ada warung nasi Padang yang murah meriah di sana. Eh, pas turun mobil, saya mulai merasa kurang enak di dada, kayak terhirup debu.

Untung saja makan siang saya lumayan lahap. Sedikit banyak rasa tidak enak di dada mulai berkurang. Setelah makan, saya mencari masjid untuk menunaikan salat zuhur yang dijamak sekaligus dengan salat asar.

Saya sengaja salat di masjid yang bagus dan megah. Namanya Masjid Jami' Abu Ad Darda, yang terintegrasi dengan pesantren modern. Bangunan asrama dan ruang kelas terlihat rapi. Sayang, kabut di sini tebal sekali.

Taman kekeringan (dok pribadi)
Taman kekeringan (dok pribadi)

Seusai salat, sekarang waktunya jalan-jalan. Kebetulan walaupun saya sudah beberapa kali ke Pekanbaru, saya belum pernah ke danau buatan, obyek wisata keluarga yang kata kerabat saya, biasanya ramai setiap hari libur.

Saya sengaja melewati Jembatan Siak IV, jembatan terbaru dengan tampilan yang ikonik. Sayangnya tidak ada tempat berhenti untuk sekadar berfoto. Akhirnya saya harus puas menjepret dari balik kaca mobil.

Sesampai di danau, yang saya lihat adalah danau yang sepi, sampan yang tertambat tak ada penyewa dan warung minuman yang tak ada pembeli. Betapa pendeknya jarak pandang, karena tak terlihat bukit di seberang danau.

Hanya satu mobil (dok pribadi)
Hanya satu mobil (dok pribadi)

Saya juga baru menyadari sejak pagi sampai sesiang ini sekitar jam 14.00, Pekanbaru belum disinari matahari. Habis dari danau, saya melanjutkan perjalanan ke Taman Bunga Okura, objek wisata yang belum satu tahun dibuka.

Kembali saya mendapati tempat wisata yang sepi. Penunggu di loket masuk pun seperti heran, hari gini kok ya ada juga orang yang kebelet ke taman bunga yang setelah saya masuk terlihat banyak area yang kering akibat kemarau. 

Ada memang beberapa anak muda duduk di sebuah gazebo. Tapi beberapa gazebo lain tampak kosong. Demikian pula sederet warung makanan. Hanya mobil kerabat saya satu-satunya mobil yang parkir, walaupun pas kami mau keluar, ada satu mobil lagi yang masuk.

Dok pribadi
Dok pribadi

Setelah itu, saya masih sempat melihat objek baru, meskipun sebenarnya bukan untuk wisata, yakni klenteng terbesar di Riau. Cukup megah, tapi kalau saja bisa sebagus Sam Poo Kong di Semarang, pasti jadi objek wisata yang menarik, bukan sekadar tempat ibadah.

Saat di jalan menuju bandara, saya lama merenung, mencerna cerita kerabat saya tentang demo mahasiswa yang sangat ramai tiga hari sebelumnya di depan kantor gubernur. Menurut saya sangat wajar mahasiswa melakukan demonstrasi atas musibah ini.

Beberapa spanduk yang memprotes pemerintah yang dinilai lamban menangani kasus kabut asap tersebut masih terpajang di jembatan penyeberangan dan di persimpangan jalan.

Salah satu poster demo (dok pribadi)
Salah satu poster demo (dok pribadi)

Saya merasa bersalah karena sebelumnya tidak begitu tertarik mengikuti berita asap di media massa. Saya hanya membayangkan seperti polusi di Jakarta saja, sudah biasa.

Namun begitu saya mengalami langsung dengan menghirup udara Pekanbaru selama 24 jam, baru saya sadar betapa mahalnya udara segar itu. Saya berdoa semoga musibah ini cepat berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun