Bagi yang rajin melahap berita perkembangan perekonomian kita, tentu sudah tahu betapa geramnya Presiden Jokowi karena Indonesia sama sekali tidak dilirik investor asing yang merelokasi pabrik mereka. Vietnam, Malaysia, dan negara Asia Tenggara lain lebih menarik bagi mereka.
Yang dituding Jokowi sebagai sumber tidak menariknya Indonesia di mata investor asing antara lain adalah birokrasi dalam perizinan yang masih berbelit-belit serta tidak sinkronnya peraturan daerah dengan pusat. Koordinasi antar instansi juga lemah.
Namun ternyata kegeraman Jokowi di atas telah dijadikan amunisi oleh para politisi yang dari awal sudah gerah dengan ulah KPK. Dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi beberapa hari yang lalu, muncul tudingan bahwa tindakan KPK yang main tangkap sana tangkap sini telah berdampak buruk pada perekonomian kita.
Akhirnya, kata si politisi, kampanye Jokowi saat berkunjung ke luar negeri yang tak bosan-bosannya mengatakan "please come to my country" di depan para investor setempat, menjadi mubazir. Tapi apakah betul demikian faktanya?
Kalau kita teliti pemberitaan di media massa, tak ada pernyataan Presiden Jokowi yang secara langsung atau yang bisa ditafsirkan bahwa beliau menilai KPK terlalu berlebih-lebihan dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang akhirnya membuat calon investor asing tak berani berinvetasi di negara kita.
Tapi bahwa Presiden menyetujui merevisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR tak bisa ditafsirkan bahwa Presiden telah terganggu oleh KPK sebagaimana terganggunya para politisi.
Presiden tegas mengatakan percaya pada KPK dan revisi yang dilakukan justru untuk memperkuat. Memang soal ini menjadi topik debat yang tidak berujung karena para aktivis antikorupsi meyakini Presiden Jokowi terjebak dalam permainan para politisi yang disinyalir ingin memperlemah KPK.
Soalnya sudah banyak anggota DPR yang terkena OTT KPK. Begitu pula kepala daerah yang pada dasarnya juga kader partai. Bahkan juga ada sejumlah menteri dari parpol yang juga terkena. Namun sebetulnya KPK tidak pandang bulu, bukan sengaja menyasar para politisi.
Buktinya oknum aparat penegak hukum sebagai pihak yudikatif, dan jelas bukan politisi, juga terkena OTT. Tentu saja para pengusaha nakal yang berkolusi dengan pejabat pemerintah, tidak terkecuali.
Nah, memang ada investasi kelas kakap yang kelangsungan proyeknya masih menjadi tanda tanya karena juga mengandung kasus korupsi.
Contohnya proyek properti besar-besaran yang dulu iklannya demikian gencar dan pasti membutuhkan biaya promosi yang luar biasa, rencananya membangun sebuah kota baru yang dinamakan Meikarta, ternyata tersandung kasus korupsi yang ditemukan KPK.
Coba simak berita di idntimes.com (30/7/2019) berikut ini. Disebutkan bahwa KPK membantah kalau upaya tegas mereka memberantas korupsi berdampak pada investasi yang seharusnya bisa diterima pemerintah.
Bantahan tersebut berkaitan dengan diumumkannya dua orang tersangka baru kasus korupsi mega proyek Meikarta. Lantaran kasus tersebut, proyek pemukiman terintegrasi yang berlokasi di Cikarang itu tidak jelas kelanjutannya.
Enam bank yang semula menjalin kerjasama dengan grup Lippo Karawaci dalam hal pembiayaan berupa Kredit Pembelian Apartemen (KPA), telah menghentikan kerjasama itu sejak tahun lalu.
Padahal Grup Lippo tidak main-main membenamkan investasinya senilai Rp 278 triliun. Ketika dilakukan peresmian dimulainya proyek akhir tahun 2017 lalu, turut dihadiri oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Namun Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yakin bahwa tindakan KPK ada dasar hukumnya dan bukan merupakan serangan balik terhadap investasi.
Ya, publik tentu bisa menilai apakah KPK terlalu over acting atau justru memang seharusnya begitu. Bagaimanapun juga para pengusaha, termasuk calon investor asing, perlu diingatkan agar punya niat yang lurus dan tidak mencoba untuk main belakang dengan oknum pejabat.
Kalaupun investasi turun gara-gara ulah pengusaha nakal, ya harus kita terima, agar nantinya tersaring hanya pengusaha yang punya integritas kuat yang kita butuhkan. Hitung-hitung anggap saja sebagai harga yang harus dibayar dalam melawan musuh nomor satu kita, para koruptor.
Betul, yang kita harapkan adalah tindakan pemberantasan korupsi dibarengi oleh semakin bergairahnya investasi. Tapi kalau memang terpaksa memilih salah satu, jangan pernah ragu untuk menomorsatukan pemberantasan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H