Para penonton film di bioskop secara demografi didominasi oleh anak muda di perkotaan, terutama yang tinggal di kota besar tempat bioskop modern (cineplex) berada. Adapun bioskop jadul yang dulu ada di setiap kota kabupaten, telah lama bangkrut.
Konon untuk kategori film drama, film yang baik adalah yang mewakili pengalaman sebagian besar penonton, serasa mereka ikut bermain dalam film tersebut. Yang dimaksud penonton itu mengacu pada anak muda kota besar itu tadi.
Namun bisa juga penonton menggandrungi film yang mengisahkan hal yang belum pernah dialaminya, namun mereka mengimpikan hal itu terjadi.
Nah, tentu saja dalam konteks itu, film Twivortiare yang lagi diputar di banyak bioskop, cukup menjanjikan. Ini kisah hidup orang-orang kelas menengah di kota besar yang sudah meraih kemapanan hidup dalam usia muda, sekitar 30-an tahun .
Beno (Reza Rahadian) seorang dokter spesialis jantung yang sangat sibuk, punya istri cantik Alexandra (Raihaanun) yang merupakan vice president di sebuah bank. Sang suami banyak berkutat di rumah sakit sampai tengah malam, sedangkan sang istri sibuk dengan berbagai meeting atau ke tempat nasabahnya.
Bagaimana liku-liku cinta kilat pasangan tersebut sehingga memutuskan untuk menikah, tapi kemudian gara-gara kesibukan di tempat kerja, mereka sering bertengkar. Mereka dekat secara fisik, tapi tak bisa menyelami pikiran pasangannya.
Ego keduanya terlalu dikedepankan, akibatnya perkawinan yang baru seumur jagung harus diakhiri. Namun kemudian baru mereka menyadari bahwa ternyata mereka saling merindukan. Dengan tekad untuk saling belajar memahami pasangannya dan bersikap lebih sabar, Beno dan Alex pun menikah kembali.
Bagi yang ingin menikmati kehebatan akting artis papan atas nasional, film ini layak ditonton. Reza dan Raihaanun betul-betul mampu menunjukkan kemampuan akting yang mumpuni. Ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya sudah sangat berbicara.
Dalam kehidupan anak muda kelas menengah Jakarta saat ini, mungkin merasa punya kemiripan pengalaman dengan  kisah dalam film ini. Banyak memang wanita karir yang sangat sukses di bidang profesinya, tapi rumah tangganya up and down. Interaksi yang intens dengan klien, nasabah, atau rekan kerja, menjadi penghalang dalam membina rumah tangga yang harmonis.
Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Ika Natassa ini memang terasa dekat dengan keseharian orang kantoran di perusahaan yang mapan dengan posisi sudah manajer.
Makanya untuk yang sudah mencapai level itu boleh disebut film ini mewakili pengalaman. Sedangkan bagi yang baru memulai karir, ini mewakili impiannya, hidup dengan pasangan yang tampan atau cantik, pintar, sukses, dan kaya.
Film ini masih senada dengan dua film sebelumnya yang juga diangkat dari novel Ika Natassa, Critical Eleven dan Antologi Rasa. Seperti juga novelnya, film-film di atas termasuk hot karena banyak dihiasi adegan ciumannya. Sesuatu yang biasa menurut standar film barat, tapi agak langka di film Indonesia. Tapi semua ini memang berkaitan dengan konteks cerita.
Tampaknya sutradara Benni Setiawan cukup tahu batas. Karena begitu adegan di atas ranjang, penonton di persilahkan berimajinasi sendiri. Hanya saja rasanya film ini lebih pas untuk 17 tahun ke atas, bukan 13 tahun.
Memang bila dikaitkan dengan konteks ke-Indonesia-an yang lebih banyak dihuni masyarakat yang tinggal di kota kecil dan pedesaan, bekerja di sektor agraris dengan pendapatan yang relatif kecil, Twivortiare terkesan tidak "membumi". Tapi menikmatinya sebagai hiburan, terasa layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H